PELAKOR
.
.
.

"Siti...,kapan kamu nikah?"

Percaya atau tidak pertanyaan seperti ini adalah beban tersendiri bagi sebagian anak muda perantauan ketika mudik lebaran.

Apalagi gaya dan asesoris yang melekat sudah bercerita bahwa dia adalah bagian dari orang yang sukses.
Ukurannya sederhana saja, mobil contohmya, atau gaya berbusana & wangi parfum yang tercium. Padahal dia baru sampai dibawah pohon nangka, sepuluh meter jarak dari pintu rumah mak bapak.

Harumnya....

Kita dianggap sukses dgn materi itu, tapi blm komplit bila belum menikah.
Seringkali menikah bukan urusan saya pribadi, namun bagian dari nilai melekat sebuah tolok ukur.

Sadar gak sadar, kita telah dan sedang tinggal dalam sebuah masyarakat yang terlalu sibuk dengan intervensi atas kehidupan pribadi.

📷Shiori Matsumoto
Kehormatan keluarga misalnya, kadang jauh lebih penting dibanding kebahagiaan kita sebagai pribadi.

Kita begitu peduli dengan bagaimana orang melihat dan menilai kita.
Kita dandan, kita berjalan, bahkan cara makanpun kadang harus sesuai norma orang lain yang belum tentu kita senang dengan itu semua.

Sering kita merasa bahwa kita merdeka, namun suka tak suka, kita sudah dibatasi dengan rel keharusan.

📷Etsy
Jalan seolah sudah dibuat, dan itulah jalan kebenaran yang harus dilewati. Tk, SD, SMP, SMA, Kuliah, Kerja dan..., NIKAH adalah kebenaran. Seolah siklus, itu adalah kebenaran warisan namun kita amini bersama.

Benar?

Menikah kadang memang bukan keinginan, keharusan mungkin iya.
Pernah liat perempuan berumur 30 tahun dan belum menikah dan kemudian dianggap perawan tua? Bukan hal sulit membuktikannya.

Kita terlibat ikut ngomongin.

Kadang istri seseorang tiba-tiba menampakkan ketidak sukaan pada perempuan itu.
Dia dianggap akan merebut atau paling tidak membahayakan kedudukannya.

Apalagi janda. Penilaian negatif terhadap status itu telah masuk pada ruang sangat memuakkan.
Entah kenapa status janda, muda lagi, selalu menjadi perbincangan yang tak jauh dari mesum bagi para lelaki, dan membuat khawatirbagi sebagian perempuan bersuami.

Disinilah perempuan seolah mendapatkan nilai hanya dari statusnya. Perempuan seolah hanya tentang tubuhnya saja.
Dan...,bila hal tak baik terjadi, perempuan adalah penyebabnya.

Demikianlah ketika atribut pelakor menjadi trending dalam banyak pembicaraan.

Sekali lagi, hubungan pribadi dua orang dewasa namun dengan mudah pendapat umum menyatakan bahwa kesalahan adalah pada perempuan.
Anehnya, mereka yang sibuk ngamuk dan marah justru kebanyakan juga perempuan. Ini anomali. Padahal disisi lain dia bukan korban dan sedikitpun tak ikut dirugikan.

Kenapa begitu?

Sejarah panjang agama dan tradisi adalah tentang paternalistik.

📷Shiori Matsumoto
Konsep mapan bahwa laki-laki sebagai kepala keluarga adalah teori sederhana tentang yang kuat harus melindungi yang lemah. Ada superior dan inferior disana.

Fakta bahwa secara fisik laki-laki lebih dominan dibanding dengan perempuan, bukan hal untuk diperdebatkan.
Disana kekuatan otot yang melahirkan status.

Bukankah sejarah mencatat siapa menjadi pemimpin adalah mereka yang paling kuat? Adu ketangkasan dan kekuatan hanya demi menjadi kepala suku misalnya, ditentukan dari ujian seperti ini?

Hal bersifat fisik, adalah milik lelaki.
Apakah ini adalah cikal bakal konsep paternalistik mendapat pijakannya, tak semudah itu juga membuat kesimpulan.

Namun sejarah masa lalu adalah tentang bagaimana bertahan hidup dari kekerasan alam.

Disana kekuatan fisik laki-laki menjadi lebih berguna dibanding yang lain.
Disana tradisi mulai terbangun. Disana derajad dan kasta mulai memilki dasar.

Dan...,agamapun berbicara seperti itu. Adam benar, Hawa bersalah.

Pastor bukan perempuan, imam harus lelaki. Semua sudah terjadi sesuai apa yang kita yakini dan anggap benar seperti saat ini.
Berarti diskriminatif dong?

Saya, anda, kita tak memiliki kemewahan minta dilahirkan. Kita hadir kedunia sebagian besar karena orang tua menghendaki kehadiran kita.

Kita tak bisa memilih menjadi lelaki atau perempuan. Dan iman akan berbicara bahwa itu kehendak Tuhan.
Apakah Tuhan membuat perbedaan hak antara laki-laki dan perempuan, itu adalah wilayah manusia yang meyakininya. Maha Adil melekat dalam namaNya.

Disini, pada saat ini, kita menerima aturan warisan seperti itu.

📷maohamaguchiwixsitecom
Apakah kita akan menggugatnya, selesaikan dulu pikiran tentang perbedaan itu. Berdamailah dengan logika. Beri ruang bagi kemerdekaan berpikir.

Sungguh...,kaum Hawa sejak dahulu mendapat posisi tak mengenakkan dalam banyak hal.

Ini bukan murni lelaki menjadi penyebab.
Banyak perempuan justru menikmatinya.

Istilah Perebut Laki Orang sepertinya bukan muncul dari mulut lelaki.

📷Elena Sai
Kenapa bisa begitu, tentu ada korban dimana si lelaki yang selingkuh misalnya, mbablas dan tak pulang lagi setelah "mendapat" yang dalam pikirannya "lebih baik" daripada pasangannya, dan yang ditinggal kemudian ngamuk.
"Lebih baik" tidak selalu berbicara tentang lebih cantik atau melulu bersifat fisik.

Banyak hal dapat berbicara tentang "lebih baik" itu.

📷Aykut Aydogdu
Biasanya, bila ada istri yang dandan terus dan sibuk merawat diri demi cantik fisik & dalam pikirannya, semua itu dimaknai hanya untuk pasangannya, istri seperti inilah yg akan cepat frustrasi dan jatuh.

Seberapa lama badan kita akan mampu terus prima?

Umur ga pernah bohong.
Pendekatan seperti ini tak lebih seperti melihat suami hanya seongok nafsu.

Pendekatan seperti ini hanya menempatkan diri sendiri sebagai obyek kepuasan fisik

Kita jadi terlalu sibuk menempatkan diri jadi pelayan.
Serius suami betah dengan cara seperti itu? Serius suami hanya butuh fisik top markotop terhadap istri?

Kenapa gak berpikir suami butuh teman ngobrol dan partner seimbang dalam banyak hal?

Disinilah memaknai hidup berumah tangga memiliki seni.
Berumah tangga bukan tentang kewajiban. Bukan pula kejar target karena umur. Bukan tentang orang tua kita yang ingin segera momong cucu.

Dan bukan demi bahagia orang tua kita.

Itu tentang kita dan pasangan kita. Ini tentang sekali dan untuk selamanya.

📷Rohul
Ini tentang hasrat kita menggapai kebahagiaan bersama sehidup semati.

"Bagaimana kalau suami tetap selingkuh?"

Jangankan suami, istri saja banyak yg selingkuh kan? Tak ada gading yg tak retak, selalu ada saat kita jatuh.

Menjadi masalah adalah bagaimana kita harus bangkit.
Ngamuk dan memaki siapa yang diajak suami selingkuh, tak lebih dan tak kurang hanya akan membuat gading itu semakin retak.

Kita justru sibuk membuat gading itu semakin retak dan tak menutup kemungkinan akan membuatnya patah.
Bukan kepada pasangan selingkuh kita harus marah, kepada suami kita harus berbicara.

Dia teman dan partner kita bukan? Bukan melulu karena kita kurang, mungkin juga ini tentang sesuatu yang kita tidak tahu.

Cari tahu..! Ajak ngobrol layaknya orang dewasa.
Menyebut pasangan selingkuh suami sebagai pelakor dan kemudian memarahinya, adalah bentuk pengakuan bahwa kita kalah segalanya dibanding dia.

Kenapa kita harus marah kepada orang yang mampu membuat suami bertekuk? Itu tidak selalu tentang kekurangan kita.
Banyak hal bisa membuat itu terjadi.

Berbicara kembali layaknya teman, kita akan menemukan jawaban itu. Disana justru usaha membuat keretakan gading tersebut menjadi lebih halus, akan menemukan caranya.
Yang jelas, meremehkan perempuan lain dengan menyebutnya sebagai pelakor adalah bentuk pengakuan kita pada banyak kelebihan yang dia miliki.

Disana suami semakin tahu bahwa kita memang lebih buruk dari pasangan selingkuhnya.
Apa yang terjadi? Jelas dia semakin yakin bahwa kita tak lebih baik dari pasangan selingkuhnya, dan..., tinggal tunggu saja.
.
.
.

📷Eric Zener
You can follow @__MV_llestari__.
Tip: mention @twtextapp on a Twitter thread with the keyword “unroll” to get a link to it.

Latest Threads Unrolled:

By continuing to use the site, you are consenting to the use of cookies as explained in our Cookie Policy to improve your experience.