Adil kiranya, ini ga disorot dari sisi nyamannya doang. Izinin gue ngejawab, "gimana rasanya dikenal tanpa harus memperkenalkan diri?"
Well, ini cerita yg panjang, cukup lama, kemungkinan negative vibes. Hide or scroll up if you think its not worth to read. https://twitter.com/undipmenfess/status/1361346665286758401
Well, ini cerita yg panjang, cukup lama, kemungkinan negative vibes. Hide or scroll up if you think its not worth to read. https://twitter.com/undipmenfess/status/1361346665286758401
pertama, hidup gaselalu mulus. Gaselamanya seauai ekspektasi. Pantas saja, hidup sering dikonotasikan sebagai roda, kadang dibawah kadang diatas. Kadang nyaman kadang engga. Kadang terasa anginnya, kadang terasa kerikilnya.
Kedua, gue bukan warga lokal Semarang. Sebagai pendatang, mahasiswa luar pulau pula, tanpa keluarga, juga tanpa sanak saudara. Banyak perkenalan yg benar-benar dilakuin ketika sampai sini, ketemu orang dari berbagai latar belakang, orientasi, pemikiran, dan sifat yg beraneka.
Ketiga, dibekali dengan petuah dari keluarga, terutama nenek dan mama. Gue jalanin kehidupan baru di Jawa. Awalnya biasa ajaa, karena sejak awal ekspektasi gue ah paling sama kek di Sumatera. Tapi emang dasarnya, gue gamau ngejalanin hidup yg gitugitu aja.
Menurut gue, flat life never make you wake up. Terlalu comfy juga gabaik, i guess. Mulai deh tuh ikutin berbagai ormawa, kepanitiaan, kuliah tetep jalan kaya biasa. Dulu tiap daftar sesuatu, kalimat yg gue sebutin, "hidup saya disini kaya labirin kak, kuliah-pulang bikin cape jg"
Interviewer selalu tahu gue. Seengganya kalo ga kenal, selalu bilang,
"oh Dean yg dari Riau ya?"
"Oh Dean yg angkatan 2016 ya?"
"Oh Dean yg gugus Penologi ya?"
Semua terkesan biasa kan ya? Ayo balik dulu sebelum jadi eksis tapi minus huhu
"oh Dean yg dari Riau ya?"
"Oh Dean yg angkatan 2016 ya?"
"Oh Dean yg gugus Penologi ya?"
Semua terkesan biasa kan ya? Ayo balik dulu sebelum jadi eksis tapi minus huhu
Titik nol, ini dimana gue bener-bener ngalamin strugle, paling berat sejauh 22 tahun ini ngelangkah. Jangan dikira dikenal dengan mudah itu enak, mungkin orang punya citra bagus untuk itu karena emang citra yg dibangun bagus. Gue? Orang tau gue, perkara citra yg dibangun jadi,
Jadi seorang public enemy. Diusia 18 tahun. Gapunya saudara sama sekali. Gapunya keluarga sama sekali. Gabisa bahasa Jawa sama sekali. Gapunya back-up sama sekali. Tekanan demi tekanan gue terima, tanpa tau kudu ngasih tau siapapun, termasuk keluarga. Bakal panik, pasti.
Emang apasih yg lo terima? Paling bentakan doang?
Gue nerima bentakan kating, alah gitu doang, mostly satu BEM pada waktu itu. Belum lagi tatapan sinisnya.
Gue nerima hate speech.
Gue nerima ajakan keluar kosan untuk "silaturahmi"
Gue nerima todongan pis** untuk kali pertama.
Gue nerima bentakan kating, alah gitu doang, mostly satu BEM pada waktu itu. Belum lagi tatapan sinisnya.
Gue nerima hate speech.
Gue nerima ajakan keluar kosan untuk "silaturahmi"
Gue nerima todongan pis** untuk kali pertama.
Balik lagi, kenapa bisa kejadian. Itu runtut. Gue ngekritik sistem yg ada didalam BEM. Gue serang mekanisme yg udah mereka bangun beberapa tahun. Gue serang mereka dengan judging sistem yg mereka bangun minus. Gue mencoba menjadi gue, di Jawa. Sayangnya, dulu gue gapunya mentor.
Sedihnya, gue sendiri. Tanpa siapapun yg berpihak. Walau kekecewaan jg mereka rasain, tapi tetep gue yg cuma jadi tumbal untuk celotehan mereka dibelakang dan gue jadi tameng utk mereka terus dorong. Bodohnya, gue ga punya self defense yg bagus utk bertahan dari serangan balesan.
disclaimer: todongan pis** ga dilakuin kating BEM. Beda cerita tapi gue rasain itu disemester pertama jugaaa.
Dikenal tanpa memperkenalkan diri, dikira selalu lekat pada kharismatik seorang pemimpin. Senyatanya, itu cuma sisi bagusnya atau sisi nikmatnya. Hidup ga selalu ngerasain angin kan? Yaps, gue ngerasain kerikil pas jadi maba, semester 1, 18 tahun, sendirian.
Gue khawatir? Engga. Gue sedih? Engga. Gue nangis? Demi Allah, ga nangis sama sekali.
Terus lo rasain apa?
Gue bingung. Bakal gimana gue besok ya? Apa yg gue hadapin ya? Ketemu kating itu lagi ga ya? Gue kena sinis lagi ya? Duh gimanaa cara gue biar ngehindar ini?
Terus lo rasain apa?
Gue bingung. Bakal gimana gue besok ya? Apa yg gue hadapin ya? Ketemu kating itu lagi ga ya? Gue kena sinis lagi ya? Duh gimanaa cara gue biar ngehindar ini?
Bisa dibilang khawatir, banyakan bingungnya. Alhamdulilah, gue tetep aman tanpa kena mental breakdance atau apalah istilahnya, gue tetep jadi gue dengan versi yg berbeda walaupun banyak penyesuaian. Ya gue pikir perlulah menjadi versi lain untuk capai semacam perubahan kan ya?
Keempat, ga selamanya berada dalam posisi enak itu menyenangkan. Gaselamanya diberi kecantikan atau kacakepan selalu ber-benefit. Jadi inget sebuah filosofi berbahasa Belanda, "Leiden is Lijden", memimpin itu menderita. Atau novel karangan Eka Kurniawan, "Cantik itu Luka".
Ga selamanya diposisi nyaman adalah sebuah hadiah. Pun, ga selamanya berada diposisi ga nyaman adalah sebuah derita. Semua ada porsinya, semua ada batasannya, semua ada bagiannya. Pun, Tuhan tidak pernah memberikan cobaan bagi hambanya, melebihi batas kemampuan hamba itu sendiri.
Jadi, masih mau merasa tidak berkecukupan atau merasa Tuhan tidak bersama kita hanya karena kita tidak diberikan kelebihan kaya yg orang lain miliki? Tuhan Maha Adil, kita tidak.
Have a great day, fellas!
Have a great day, fellas!
