nah, ini dia, teman-teman, yang sering disebut-sebut dengan “aktivisme performatif” (meski kata performatif sendiri sebenernya agak kurang tepat juga, tapi persetan dgn Judith Butler dan akademia elitis kelas menengahnya).
yuk kita bedah ciri-cirinya. https://twitter.com/magriebhi/status/1358832184560218116
yuk kita bedah ciri-cirinya. https://twitter.com/magriebhi/status/1358832184560218116
1. aktivisme performatif sering dikaitkan dengan surface-level activism, atau aktivisme level permukaan. artinya, dia tidak membongkar & mempersoalkan masalahnya sampai ke akar.
thread tsb mempertentangkan narasi pro- dan anti-lockdown, dan sebagai konsekuensinya menciptakan—
thread tsb mempertentangkan narasi pro- dan anti-lockdown, dan sebagai konsekuensinya menciptakan—
—pertentangan horizontal antara masyarakat golongan “pro-“ dan “anti-“, kemudian menempatkan pihak pro- dalam bingkai moralisme yg salah:
gak peduli sama kelas menengah dan yang sulit pendapatan, ga berempati, gapernah ngobrol, ga ngebela, dll
gak peduli sama kelas menengah dan yang sulit pendapatan, ga berempati, gapernah ngobrol, ga ngebela, dll
padahal, lockdown (atau tidak diadakannya lockdown) adalah persoalan bagaimana negara mampu (atau tidak mampu) melindungi dan mengurusi warga negara.
dia struktural, vertikal. bukan sekadar narasi pertentangan horizontal antara pro- atau anti-.
dia struktural, vertikal. bukan sekadar narasi pertentangan horizontal antara pro- atau anti-.
kegagalan melihat persoalan lockdown sbg persoalan struktural/vertikal (negara & masyarakat) dan membelokkannya mjd konflik horizontal pro- kontra- (masyarakat vs masyarakat) gak hanya membuktikan seberapa surface-levelnya thread tsb yg seolah ia membela kelas menengah kebawah,
tapi justru malah lebih berbahaya dan merugikan buat kelas menengah ke bawah yang ia “bela” di thread tsb.
sudah gak ada untungnya kelas pekerja menengah ke bawah ngeliatin kelas atasnya berantem, persoalan juga gak selesai, keadaan mereka makin terpuruk.
sudah gak ada untungnya kelas pekerja menengah ke bawah ngeliatin kelas atasnya berantem, persoalan juga gak selesai, keadaan mereka makin terpuruk.
2. nah, berhubungan sama yg tadi, ciri kedua dari aktivisme performatif (sekaligus dampak dari ciri pertama):
ia tidak (dilakukan/ditujukan utk) membantu, membebaskan, memperbaiki kondisi hidup—ato apapun itu bahasanya—yg intinya membuat pihak yg “dibela” ini lepas dari masalah.
ia tidak (dilakukan/ditujukan utk) membantu, membebaskan, memperbaiki kondisi hidup—ato apapun itu bahasanya—yg intinya membuat pihak yg “dibela” ini lepas dari masalah.
jelas-jelas yg bisa membuat kondisi hidup kawan2 kelas pekerja sekarang dalam konteks krisis adalah penanganan pandemi yang cepat, tanggap, dan efisien.
hal tsb termasuk pencegahan penyebaran virus dan pemenuhan kewajiban negara thd kebutuhan warga selama krisis.
hal tsb termasuk pencegahan penyebaran virus dan pemenuhan kewajiban negara thd kebutuhan warga selama krisis.
kalau penanganan pandemi gak dilakukan scr cepat, tanggap & efisien, mau fafifu kyk apa juga ya kondisi hidup kawan2 kelas pekerja tetap akan terpuruk.
menggunakan keluhan abang gojek “kalau ga narik kita ga bisa makan” sebagai justifikasi utk ga lockdown malah makin merugikan,
menggunakan keluhan abang gojek “kalau ga narik kita ga bisa makan” sebagai justifikasi utk ga lockdown malah makin merugikan,
karena justru dengan begitu, para kelas pekerja akan terus ditempatkan di posisi yang rentan dan kepepet.
selain hal tsb melelahkan dan memiskinkan (narik di masa pandemi dapet berapa sih, ketimbang kalau ga krisis? dan dibandingkan tenaga yg dikeluarkan, apa sebanding?),
selain hal tsb melelahkan dan memiskinkan (narik di masa pandemi dapet berapa sih, ketimbang kalau ga krisis? dan dibandingkan tenaga yg dikeluarkan, apa sebanding?),
kelas pekerja yg terpaksa keluar2 jadi rentan sekali kena virus, sementara mereka belum tentu mampu berobat. belum lagi RS pada collapse.
siklus dan kondisi hidup kelas pekerja akan gitu aja terus, di bawah kegagalan struktural atas penanganan pandemi.
siklus dan kondisi hidup kelas pekerja akan gitu aja terus, di bawah kegagalan struktural atas penanganan pandemi.
3. maka dari itu, bisa dilihat bahwa aktivisme performatif tidak mengubah keadaan apapun—ia tidak bersifat disruptif yg bisa mengganggu status quo yg menyalahgunakan kuasa.
ia dilakukan di atas alas empuk orang2 kelas menengah yg enggan beranjak dari posisinya yg nyaman.
ia dilakukan di atas alas empuk orang2 kelas menengah yg enggan beranjak dari posisinya yg nyaman.
4. terakhir, yg gak kalah penting, aktivisme performatif sering dilakukan utk... clout. menarik atraksi massa. pamer superioritas moral. atau berbagai kepentingan pribadi yg lebih materil/profitable.
menggunakan pihak2 yg dibela sbg alat dan/atau objek utk kepentingan masing2.
menggunakan pihak2 yg dibela sbg alat dan/atau objek utk kepentingan masing2.
nah, mungkin segini dulu sudah cukup.
lain kali, kalau ada orang ngaku2 berpihak, bisa diidentifikasi aja. ada gak sih, indikasi poin-poin di atas?
dan semoga kita dihindarkan dari orang dan perbuatan seperti itu, ya. :)
lain kali, kalau ada orang ngaku2 berpihak, bisa diidentifikasi aja. ada gak sih, indikasi poin-poin di atas?
dan semoga kita dihindarkan dari orang dan perbuatan seperti itu, ya. :)
ah! lupa. catatan kecil:
saya gak menampikkan agensi & tanggung jawab warga utk sama2 mengentas pandemi. kita juga punya tanggung jawab, kok. tapi ya, jgn sampe buta akar masalah & konflik horizontal juga.
dan bahasan agen-struktur itu udah beda lagi, lain kali aja lah. hehe.
saya gak menampikkan agensi & tanggung jawab warga utk sama2 mengentas pandemi. kita juga punya tanggung jawab, kok. tapi ya, jgn sampe buta akar masalah & konflik horizontal juga.
dan bahasan agen-struktur itu udah beda lagi, lain kali aja lah. hehe.