Tadi ketemu temen SMP dan ngobrol lama bgt. She's OK with me sharing our conversation.
Orangnya baik dan sopan, cuma agak tertutup. Gak well-spoken. Terakhir kami ketemu itu kayaknya tahun 2010-an sebelum KKN.
Dia cerita dia baru nikah setahunan sebelum pandemi ini.
Orangnya baik dan sopan, cuma agak tertutup. Gak well-spoken. Terakhir kami ketemu itu kayaknya tahun 2010-an sebelum KKN.
Dia cerita dia baru nikah setahunan sebelum pandemi ini.
Dia bilang, sebelum nikah dia itu merasa 'invisible'.
Keluarganya gak perhatian, suka nyeramahin cepet nikah, dll dsb. Di tempat kerjanya, dia jg gak punya tmn dkt karena mayoritas udah pada nikah semua.
Sementara di sirkel pertemanan dia, dia satu-satunya yg belum nikah.
Keluarganya gak perhatian, suka nyeramahin cepet nikah, dll dsb. Di tempat kerjanya, dia jg gak punya tmn dkt karena mayoritas udah pada nikah semua.
Sementara di sirkel pertemanan dia, dia satu-satunya yg belum nikah.
Jadi di sirkelnya dia udah jarang diajak nongkrong karena dianggap gak bisa relate sama kehidupan tmn2nya yg udah nikah.
Sekalinya diajak nongkrong, dia sering bgt dinasihatin utk cepet nikah supaya bisa relate sama kehidupan tmn2nya.
Sekalinya diajak nongkrong, dia sering bgt dinasihatin utk cepet nikah supaya bisa relate sama kehidupan tmn2nya.
Sekalinya diajak nongkrong sama tmn2 cowo yg ya nyantai aja gitu, tmn2 cewek di sirkelnya itu langsung preaching gak boleh cewek sendiri nongkrong sama cowo2. Padahal ya ini temen yg udah kenal lama.
Nah, menjelang akhir 2019, temennya satu sirkel ini kenalin dia dgn cowo yg setelah tiga bulan kenal langsung nikah.
Setelah nikah, keluarga & sirkelnya jd perhatian. Sering diajak nongkrong. Dianggap ada. Dia ceritanya sambil semringah. And I'm genuinely happy for her.
Setelah nikah, keluarga & sirkelnya jd perhatian. Sering diajak nongkrong. Dianggap ada. Dia ceritanya sambil semringah. And I'm genuinely happy for her.
Ya dia jadi merasa berharga dan ngobrolin ini itu ttg pernikahan. Aku sih ngangguk ngangguk aja nyantai.
Terus akhirnya dia bilang, kalau ternyata ada banyak yg gak bisa diceritain satu pasangan yg udah nikah dgn pasangan lain.
Terus akhirnya dia bilang, kalau ternyata ada banyak yg gak bisa diceritain satu pasangan yg udah nikah dgn pasangan lain.
Yg aku tangkap, dia gak bisa cerita ttg persoalan pernikahan dia ke sirkel atau keluarganya yg udah pada nikah itu. Entah malu atau takut dihakimi.
Terus akhirnya dia nangis sambil cerita. Bahwa suaminya itu suka mukulin dia. Awalnya karena hal sepele. Terus kadang tanpa alasan jg suka tiba-tiba mukul.
Ya mau ada atau gak ada alasan, kekerasan rumah tangga itu gak ada justifikasinya.
Ya mau ada atau gak ada alasan, kekerasan rumah tangga itu gak ada justifikasinya.
Dia gak bisa cerita ke sirkelnya karena sirkelnya suka cerita yg hepi2 aja ttg pernikahan.
Dia gak cerita ke keluarganya karena setelah dia nikah keluarganya justru makin hangat sama dia.
Terus dia milih bertahan karena merasa 'dianggap' oleh sekitarnya itu menyenangkan.
Dia gak cerita ke keluarganya karena setelah dia nikah keluarganya justru makin hangat sama dia.
Terus dia milih bertahan karena merasa 'dianggap' oleh sekitarnya itu menyenangkan.
Dia berharap suaminya bisa berubah seiring waktu. In the end she says she feels happy, and I want to believe that too.
May Allah protect her and her family.
May Allah protect her and her family.
Terus dia bilang, "Seneng tahu ternyata punya temen yg masih single. Jadi bisa ngobrol banyak tanpa ada rasa takut dibanding-bandingin."
Deep down it just pains me a lot to hear her saying that. Like a lot. It breaks my heart.
Her surrounding unconsciously peer-pressured her to follow standardised, hollow happiness of marriage. Proving or not, she deserves people's respect and true companionship.
Not because of her marital status, or any other achievements. But simply because she's a human being.
Not because of her marital status, or any other achievements. But simply because she's a human being.
As as society we owe so much to many women like her.