Gara-gara ocehan Nadin di podcast, tidak sedikit yang mengaku kecewa terhadapnya, termasuk dari mereka yang mendengarkan lagu-lagunya.
Yang Nadin alami ini mengingatkanku pada fenomena cancel culture. Apakah ini hal yang baik atau malah toksik?
#Thread
Yang Nadin alami ini mengingatkanku pada fenomena cancel culture. Apakah ini hal yang baik atau malah toksik?
#Thread
Urban Dictionary mencatat 16 definisi berbeda perihal cancel culture atau yang dulunya disebut call-out culture. Tapi secara sederhana, cancel culture bisa diartikan sebagai usaha kolektif masyarakat untuk ‘memboikot’ seseorang atas perbuatan atau perkataannya.
Cukup sulit mencari kapan istilah ini mulai dipakai. Salah satu yang menonjol adalah kasus Harvey Weinstein pada 2017, gerakan canceling terhadap tokoh-tokoh mulai muncul lewat kasus kekerasan seksual di industri perfilman Hollywood. https://www.nytimes.com/2017/10/05/us/harvey-weinstein-harassment-allegations.html
Sejak saat itu, banyak selebriti yang juga kena cancel. Momen ini disebut sebagai Weinstein Effect. Fyi, kesadaran akan perilaku kekerasan seksual ini juga bersamaan dengan kemunculan tagar #MeToo
. https://www.usatoday.com/pages/interactives/life/the-harvey-weinstein-effect/

Kembali ke pertanyaan di awal, apakah cancel culture ini gerakan yang baik atau buruk? Kalau tergantung, tergantung apa tuh?
Baik dan buruk di sini mengarah pada apakah cancel culture bisa menjadi metode aktivisme online yang tepat dalam memperluas partisipasi publik.
Di satu sisi, orang awam bisa berpartisipasi dalam memboikot tokoh publik yang bermasalah. Namun, di sisi lain, bisa mengarah pada penghakiman dan moral witch-hunting yang belum tentu akurat.
Camonghne Felix, seorang ahli strategi komunikasi menyatakan bahwa cancel culture dapat menjadi alat mobilisasi masyarakat dan dapat mengarahkan untuk berbagai kemungkinan secara legal, misal secara hukum. https://www.vice.com/en/article/vbw9pa/what-is-cancel-culture-twitter-extremely-online
Pandangan ini menyatakan bahwa kita perlu memproblematisir perilaku buruk seseorang. Cancel culture membuat kita memiliki kuasa dan dapat dipergunakan untuk pengaruh tertentu.
Tapi di sisi lain, cancel culture juga dianggap toksik dan bersifat destruktif ketimbang konstruktif. Natalie Wynn melihat cancel culture tidak begitu memiliki konsekuensi nyata pada masyarakat kelas atas karena mereka memiliki banyak dukungan.
Justru sebaliknya, budaya ini bisa sangat berdampak pada masyarakat kelas bawah. Barrack Obama berpendapat, cancel culture hanya membuat orang semakin mudah menghakimi orang lain. Bahanya, ketika alasan penghakimannya ternyata keliru. https://www.nytimes.com/2019/10/31/us/politics/obama-woke-cancel-culture.html
Misalnya kasus Amber Heard, yang sebelumnya didukung warganet karena dugaan pelecehan yang dilakukan Johnny Depp, ternyata terbukti dirinya pernah melakukan pelecehan fisik terhadap Depp. Tapi publik sudah kadung marah-marahnya ke Depp. https://www.thejakartapost.com/life/2019/03/14/the-amber-heard-johnny-depp-domestic-abuse-case-just-got-even-messier-.html
Jadi baik atau buruk tergantung bagaimana kebudayaan ini dipakai. Mengutip Natalie di atas, cancel culture ibarat hukuman guillotine versi abad 21. Di satu sisi hukuman ini memenggal tiran dan memberikan keadilan bagi rakyat. Tapi sekaligus jadi pertunjukan hiburan yang sadistik.
Utas dipersembahkan oleh artikel #Mediapedia yang ditulis oleh @scoradian https://remotivi.or.id/mediapedia/574/kecewakan-daku-kau-ku-cancel