Dunia Bali yang sedang Berubah

100 tahun kolonialisme, peperangan, kemerdekaan Indonesia dan pariwisata telah menghasilan perubahan modernisasi, namun juga menghasilkan citra Bali sebagai “tradisional”.

Orang bali melakukan banyak cara terhdap masuknya pengaruh luar.
Orang Bali sejak lama telah menyaksikan berbagai macam perebutan religius, dan mereka telah menghasilkan hubungan dinamis antara praktik keagamaan, identitas etnis dan aktivitas artistik.

Perkembangan tersebut diperumit oleh kepedulian terhadap keutuhan dan keaslian budaya Bali.
Eksploitasi pulau oleh industri pariwisata, terutama setelah bom Bali 2002, telah menimbulkan kesan di kalangan masyarakat bali bahwa mereka telah dirampok dan budaya mereka tercemar.

Setelah kejadian bom Bali yang dilakukan oleh teroris, banyak pihak yang
menyalahkan Muslim fanatik karena telah mencoba memperluas kekerasan komunal di Ambon, Kalimantan, Lombok dan daerah lain di Indonesia dengan penghasutan melalui kekerasan agama dan etnis di Hindu Bali, dengan tujuan memperluas kerapuhan dan mengguncang ke stabilan untuk
menegakkan Negara Islam.

Selama ratusan tahun sebenarnya sudah ada Muslim Bali terutama di Bali Utara, namun sekarang semakin banyak migrasi Muslim yang berdatangan kebanyakan dari Jawa dan tempat lain di Indonesia yang bekerja dan tinggal di daerah wisata dan
kota-kota di Bali Selatan, yang saat itu dengan cepat menjadi sasaran pembalasan oleh umat Hindu Bali.

Selama beberapa dekade, para pekerja imigran ini telah disalahkan atas sebagian besar kejahatan, mulai dari penyalahgunaan narkoba, prostitusi dan
penyakit sosial lainnya yang melanda Bali modern.

Selama bertahun-tahun orang Bali telah menampilkan pencapaian artistik mereka. Terutama musik, tari, drama, sering kali dalam bentuk terpotong-potong guna menyenangkan wisatawan.
Mereka rela mengundang wisatawan ke rumah dan kuilnya untuk menyaksikan berbagai upacara warna-warni seperti kremasi, pernikahan dan potong gigi.

Kebanyakan orang bali menerima bahwa tontonan yang kaya dan mewah seperti inilah yang membawa wisatawan domestik atau mancanegara.
Mereka paham bahwa orang-orang datang untuk melihat budaya Bali, oleh karena itu budaya Bali harus dapat diakses dan disesuaikan dengan kebutuhan wisatawan.

Orientasi pada keinginan wisatawan yang kembali ke Bali akhir masa kolonial, telah mendorong orang Bali untuk
mengembangkan konsep yang menurut para antropolog sebagai konsep sempit kebudayaan Indonesia.

Konsep ini terdiri dari upaya produksi seni dan material. Banyak pertunjukan sejatinya merupakan bagian dari kehidupan sehari-hari dan selalu dilakukan entah ada turis atau
tidak, sedangkan pertunjukan lain memang dirancang khusus untuk wisatawan.

Pertunjukan semacam ini dilakukan di arena khusus seperti hotel, dan tidak memiliki makna religius yang diselenggarakan oleh pengusaha-pengusaha dan agen pariwisata negara untuk mendapatkan profit.
to be continued….

bersabar adalah meditasi batiniah :)
markijut mari kita lanjut

Sambil menunggu waktu makan siang. Sederhana saja nasi sama telor dadar kasi kecap.

Nyonya habis petik kangkung dari kebunnya, tapi ga tau itu buat bebek atau buat aku. Pasrah saja.

next..
Hal ini menimbulkan anggapan bahwa kebudayaan adalah sejenis benda yang dimiliki orang Bali tetapi tidak lagi dapat mereka kendalikan sendiri, karena sebagian sedang dibentuk untuk kepentingan pasar dan pemodal asing.

Orang Bali adalah pencipta budaya-budaya ini dan mereka
dengan bangga orang lain bisa ikut menikmatinya dengan membayar, tetapi dengan memasukannya ke pasar, satu-satunya kendali efektif telah dilepaskan. Budaya mencapai taraf tertentu dan menjadi komoditas yang diperjualbelikan, dan bahkan dicuri.

Pembelian tanah
pertanian yang berharga untuk pengembangan wisata, seperti hotel, lapangan golf, taman hiburan, patung kebanyakan dikelola oleh orang non - Bali untuk menghiasi dan mengiklankan produk mereka.

Menciptakan perasaan di kalangan masyarakat Bali bahwa mereka telah
dieksploitasi dan dirampok.

Budaya mereka ….. terkontaminasi.
Hal ini menuntun keraguan terhadap tempat budaya dalam pariwisata dan dilema tentang bagaimana mempertahankan pariwisata tanpa merendahkan dan menghilangkan budaya bali.

Sangat penting untuk menjaga pandangan bahwa di masa lalu, Bali adalah masyarakat yang
terisolasi dan menikmati tradisi tanpa perubahan, bebas dari campur tangan luar, yang saat ini hidupnya di bawah serangan pengaruh eksternal dan modernisasi.

Bali selalu menjadi bagian dari perubahan struktur politik dan ekonomi yang lebih besar, dan dilanda konflik internal
sepanjang sejarahnya.

Meskipun pencitraan Bali adalah sebagai pulau surga abadi dan tradisional, penting untuk menyadari ada modernisasi yang terjadi, usaha untuk membuat wisatawan tetap datang, gambaran parsial seperti ini harus dipertahankan dan dilestarikan.
Ironisnya upaya untuk mempertahankan budaya yang seolah-olah tidak berubah dan otentik itu sendiri justru menghasilkan perubahan.

Orang dapat menikmati banyak ritus dan tarian “tradisional” di Bali sekarang daripada yang dapat diamati pada abad 19.
Gagasan bahwa Bali memiliki budaya unik yang secara eksklusif perlu dijaga keutuhannya, keasliannya dan dilindungi justru muncul selama masa “penjajahan”.
Orang Bali memaknai kehidupan sosial mereka didasarkan pada kepentingan sentral dari jenis objek material tertentu - relik suci, topeng, belati sakti, perlengkapan ritual dan barang berharga lainnya (kebanyakan disimpan di kuil), dan karena sesekali ada pencurian, menjadi umum
bagi para pria untuk berjaga semalam (makemit) di dalam lingkungan kuil. Semua pencurian itu dilakukan oleh non -Bali.

Bentuk keamanan seperti ini meluas sejak tahun 1990 an. Untuk mengganti benda-benda curian tersebut dilakukan ritual rumit untuk menguduskannya yang dibantu
oleh tenaga ahli.

Mengingat gagasan eksklusif tentang budaya mereka yang terancam, orang bali mulai menarik batas antara mereka sendiri dan orang lain secara lebih erat.

Budaya dan agama mereka menjadi penanda identitas etnis dan kebangaan etnis yang semakin signifikan.
Setelah bom meledak, banyak orang barat meramalkan bahwa gerombolan orang Bali yang marah akan menyerang orang luar ini (Muslim).

Namun hal tersebut tak pernah terjadi.

Segera setelah bom Bali, politisi Bali, pemuka Agama dan pemuka masyarakat, anggota intelegensi kelas
menengah keluar untuk memohon kepada orang Bali agar tidak bereaksi dengan kekerasan karena diilhami komunal dan etnis.

Namun seruan altruistik untuk perdamaian sederhana tersebut tdak diterima begitu saja.

Mereka memulai eksodus masal. Kuta, Legian, Sanur, Nusa Dua, Ubud, dan
dan kawasan wisata lainnya di Bali…

Sunyi

Kosong...
Karena pariwisata menyumbang sekitar setengah dari ekonomi pulau itu, berdasarkan hasil kesepakatan kerusuhan hanya akan memperburuk situasi ekonomi dan membawa lebih banyak kehancuran.

Jalan damai dan toleransi telah dipilih.

Orang Bali telah digambarkan sebagai masyarakat
yang sangat religius, toleran, damai. Gambaran ini diinternalisasikan oleh orang Bali dan orang luar.

Namun kemudian menyusul artikulasi wacana berbeda.

Orang Bali mulai bertanya kepada diri sendiri, mengapa bencana mengerikan ini memilih untuk menenggelamkan mereka?
Menurut profesor Suryani, seorang psikiater Bali terkemuka Bali telah melupakan aksioma fundamental dari kepercayaan agama bali modern.

Harus ada keseimbangan yang dikenal dengan Tri Hita karana. Keharmonisan antara manusia dan Tuhan, manusia dan alam, dan antara manusia.
Mereka menutup mata terhadap komodifikasi budaya, degradasi ekologis yang dipicu oleh pariwisata, dan perilaku buruk beberapa pengunjung.

Mereka bertanggung jawab atas ketidakseimbangan kosmos.

Sebagian menyalahkan pihak luar sebagian menyalahkan diri sendiri.
Pergolakan besar tersebut telah menciptakan pengangguran besar-besaran, dan mengarah pada perubahan kedalam ketika orang-orang mengatasi kesulitan ekonomi.

Gambaran mengenai orang Bali sebagai kejam dan toleran, religius dan materialistik, inklusif dan eksklusif menjadi lebih
kompleks dan ambivalen, yang tidak bisa ditemukan dalam buku manapun.

Bali yang dipercaya sebagai “surga terakhir”, telah ditinggalkan oleh para Dewa, tanpa perlindungan & rentan pengaruh jahat,

dan solusinya adalah kembali ke akar religius dan melakukan perombakan menyeluruh
tentang bagaimana ekonomi turis dikelola.

Bali tidak boleh kembali ke cara sebelumnya.

#IndonesiaBaca

Sumber Literasi : The Changing World of Bali : Religion, Society and Tourism by Leo Howe, Routledge Taylor & Francis Group London and New York.
You can follow @greencl0ver.
Tip: mention @twtextapp on a Twitter thread with the keyword “unroll” to get a link to it.

Latest Threads Unrolled:

By continuing to use the site, you are consenting to the use of cookies as explained in our Cookie Policy to improve your experience.