ʙᴀɢᴀɪᴍᴀɴᴀ ᴅᴜᴀ ɴᴏᴠᴇʟ ɪɴɪ ᴍᴇʀᴜʙᴀʜ ᴄᴀʀᴀ ᴘᴀɴᴅᴀɴɢ sᴀʏᴀ ᴛᴇɴᴛᴀɴɢ ʟᴀᴋɪ-ʟᴀᴋɪ
—saat karya fiksi membantumu melihat dunia dengan lebih jernih

((spoiler free))
Disclaimer: utas ini berupa opini dan pengalaman pribadi, karena sifat opini yang relatif, harap kebijaksanaan dari pembaca sekalian. Terima kasih
Belakangan ini lagi rame di Twitter tentang tweet:
Kalau itu beneran terjadi, nggak mandang cewek atau cowok, kayaknya bakal kesel juga kalau jadi korban mixed signal gitu. Ya ampun manusia, belajarlah untuk tidak menyusahkan sesamamu.
Oke, lanjut.
Raina versi remaja agaknya kurang setuju dengan pandangan Raina umur 20-an menyoal masalah laki-laki. Kayaknnya dulu saya korban framing media deh—dalam konteks memaknai hubungan romantis. Dulu, mulai dari meme, kelakar, hingga video singkat
yang beredar di berbagai platform medsos, selalu aja premisnya, “laki2 selalu salah dan perempuan selalu benar.” Saya tahu itu bercandaan but somehow otak remaja saya termakan omongan itu.
Hingga akhirnya saya menjadi apa yang dianggap wajar jika perempuan melakukan itu terhadap laki-laki, semua harus selalu dituruti dan perkataan perempuan adalah titah yang nggak boleh dilanggar. Dan itu nggak sehat banget. I know.
Selain itu ada juga banyolan seperti, “laki-laki itu makhluk yang nggak peka.” Lagi-lagi saya kemakan hasutan itu (kalau diingat-ingat, gelap banget perangai remaja setelah dapet provokasi dari media. Astaghfirullah ngeri).
Saya mempraktekkan ilmu sesat itu dengan seseorang (buset bahasanya). Serius, ada fase saat saya nyobain apa yang dianggap benar oleh orang-orang virtual itu.
Nggak butuh waktu lama buat saya sadar ada yang salah dalam diri saya.
Saya tidak memanusiakan manusia. Saya memutuskan berubah dan melakukan revisi besar-besaran tentang pemahaman hubungan antara laki-laki dan perempuan.
Dan dua karya tersebut, A Man Called Ove dan Norwegian Wood mendampingi saya dalam masa-masa berbenah.
Saya rasa pilihan saya tepat saat menjadikan dua buku itu sebagai model pembelajaran, karena: (1) sudut pandang orang pertama yang sama-sama dari laki-laki (A Man Called Ove sebenarnya make point of view orang ketiga tapi fokusnya tetep ke karakter Ove),
(2) tema besarnya sama-sama tentang bagaimana laki-laki menghadapi kehilangan dan kesepian, (3) penulisnya laki-laki yang menjadikannya poin tambahan.
Waktu itu sepertinya saya kelas 3 SMA saat pertemuan pertama dengan Ove, dan dia ngasih gambaran kalau laki-laki punya caranya sendiri dalam mengekspresikan perasaan sayangnya.
Diamnya seorang perempuan diidentikkan dengan ‘iya’, maka diamnya laki-laki malah punya 1001 makna.
Sebenernya yang ngebikin karya ini spesial, selain karena cara bercerita Fredrick Backman, adalah kesederhanaan dalam penyampaiannya yang kalau boleh mengklaim, khas laki-laki sekali yang singkat, padat, jelas, dan ribetnya ditanggung sendirian.
Maksudnya, kalau perempuan lebih memilih coping mechanism dengan mencari dukungan sosial (baca: curhat), laki-laki sepertinya lebih memutuskan untuk mendiamkan dan membiarkan masalah berlalu sendiri
(tentu saja ini kondisional dan tergantung dengan masing-masing pribadi, di sini saya hanya mencoba mengambil sample dari Ove).
Ove, juga sebagian laki-laki yang saya kenal, lebih menyukai sesuatu yang praktis dan mudah dipahami. Kadang hal ini diartikan sebagai ketidakpedulian oleh perempuan, padahal sebenernya nggak gitu. Laki-laki dalam menghadapi konflik atau bahkan
menghadapi kondisi jatuh cinta, mereka juga make perasaan. Outputnya aja yang beda sama perempuan. Contohlah Ove ini yang kita sebagai pembaca diajak melihat bagaimana dalamnya cintanya pada Sonja (astaga, memikirkannya saja udah bikin saya terharu).
Sedangkan untuk Norwegian Wood, saya pertama membacanya saat freshman year. Pernah satu kali saat saya book date ke bazar buku terbesar (yap, BBW) dengan salah seorang teman, Saya nggak bisa berhenti ngomongin buku ini
dan teman saya yang mungkin sudah lupa dengan kecerewatan saya, cuma bertanya nggak habis pikir, “Segitu sukanya kamu sama buku Murakami yang ini?” Saya menjawab, “Ini tuh… ugh, udahlah, kamu laki-laki nggak bakal ngerti.”
Sambil ketawa dan ngedorong troli, temen saya menyahut, “Why women always bring something like that, liki-liki nggik bikil ngirti.”
Biar adil, saya bakal ngejelasin jawaban saya di sini, supaya kalian tahu alasan dibalik ‘laki-laki nggak bakal ngerti’ dalam percakapan itu, supaya nggak ada yang salah paham.
Temen saya itu laki-laki, pernah baca beberapa karya Murakami juga tapi saya lupa dia pernah baca yang Norwegian Wood juga apa enggak. Dia nggak bakal ngerti apa yang saya dapet dari kisah Watanabe karena dia satu jenis sama tokoh utama itu T_T.
Makanya pengalaman membaca yang saya dapet pasti berbeda sama dia, makanya saya ngomong gitu, sampai sini paham?
Dulu saya orangnya hopeless romantic banget. Kalau dalam keadaan sama-sama suka, saya mau orang yang saya suka itu nunjukin afeksinya dengan jelas. Kalau dia menderita karena rasa kangen, dia harus nampakin dengan jelas.
kalau dia nggak bisa se-needy atau minimal nunjukin ke-clingy-an dia kepada saya, maka rasa sayangnya patut untuk dipertanyakan (wah, wah… lihat tingkah perempuan yang menyeramkan ini LMAO)
Sekarang saya sudah berjalan dengan langkah yang berbeda (syukurlah).
Apa yang kemudian mengusik saya dalam Norwegian Wood adalah penggambaran tokoh Watanabe dalam menambal kesepian dan kehilangannya terhadap Naoko. Bagaimana ia mencoba melarikan diri dari perasaan bingung dan kehampaan yang sedikit banyak bisa saya aminkan.
Perasaan Watanabe sangat familiar. Kisahnya membuka mata saya bahwa dalam dunia yang luas, banyak kemungkinan juga sama luasnya tentang bagaimana seseorang mengalami renjana dan penderitaan. Laki-laki, bagaimanapun,
tidak banyak yang pandai mengekspresikan secara gamblang apa yang ia rasakan. Oleh karena itu mereka lebih banyak diam dan menyibukkan diri sambil mencari pelarian
(saya nggak setuju dengan pelarian yang dipilih Watanabe tapi itu masalah lain, mungkin ranahnya masuk ke self-destructive kali ya).
Memahami luka orang lain, sekalipun dari tokoh fiksi, berhasil mengentaskan saya dari kekeliruan dalam berpikir. Selama ini saya kurang waras dan bijak dalam menilai respon orang. Saya termakan ekspektasi saya sendiri.
Di sini jahatnya ekspektasi. Dia, ekspektasi, bisa ngebikin seseorang menjadi jahat tanpa rasa bersalah sedikitpun.
Saya terlalu terpusat pada pemahaman saya pada sesuatu padahal… ke manapun kita pergi, akan ada banyak mutitafsir yang bakal kita temui, termasuk dalam sebuah hubungan. Makanya communication is a key. Komunikasi ada untuk menjembatani pikiran orang-orang.
Dalam sebuah hubungan, kalau kita gagal membangun komunikasi yang baik, bisa dipastikan hubungan itu bakal nggak nyaman. Mirip orang yang berjalan dengan ukuran sepatu yang kekecilan atau kebesaran.
Yang perlu dipahami lagi bahwa perempuan dan laki-laki merespon sesuatu dengan mekanisme berbeda. Dan itu nggak apa-apa, asal kita nggak ngejadiin hal itu sebagai masalah. Untuk perempuan, perlu rasanya membicarakan sesuatu dengan terus terang.
Sedang untuk laki-laki, barangkali harus lebih banyak mendengarkan. Dua peran itu juga berlaku sebaliknya. Hubungan adalah sebuah kerja sama tim.
Selain itu perlu ditekankan untuk nggak memulai sebuah komitmen kalau kita belum siap dan belum benar-benar paham kebutuhan kita terhadap dalam hubungan, lebih khusus hubungan romantis. Supaya nggak ada yang dirugikan, baik itu diri sendiri
lebih-lebih orang lain.

Sekian utas gado-gado ini saya sampaikan. Kalau kalian ada buku yang membantu dalam memahami hubungan dengan orang lain, silakan drop di bawah ya.
Oke, noted. Tencu ^_^ https://twitter.com/thealreads/status/1350015158358183938?s=19
Astaghfirullah maap judulnya typho😭 bukan 'merubah', tapi 'mengubah'. Yaelah merubah dikira Gumiho kali ya
Beginilah bapak ibu sekalian, untuk tidak tergesa2 dalam memposting😐
Nah, kalau ini buku dari penulis dalam negeri💕 sikattt https://twitter.com/liltcadenza/status/1350056198519754752?s=19
You can follow @RainaJamila.
Tip: mention @twtextapp on a Twitter thread with the keyword “unroll” to get a link to it.

Latest Threads Unrolled:

By continuing to use the site, you are consenting to the use of cookies as explained in our Cookie Policy to improve your experience.