Salah kaprah vaksinasi COVID di Indonesia

Sebuah utas copas dari kulgram di instagram saya @liquidkermit
Kita harus tarik mundur jauh ke belakang. Lupakan angka-angka efikasi 65 dan 95.

Penelitian vaksin dimulai dengan uji pre-klinis. Salah satu binatang yang menjadi korban adalah primata. Uji pada primata ini penting karena primata memiliki banyak kesamaan dengan kita.
Sebagian primata disuntikkan vaksin dan sebagian lainnya diberikan plasebo. Lalu setelah beberapa hari dilanjutkan dengan memberikan virus SARS-CoV-2 kepada mereka, biasanya melalui hidung dan melalui trakea.
Dosis virus yang diberikan berbeda-beda dari satu penelitian ke penelitian yang lain, sehingga harus hati-hati dalam melakukan perbandingan antar penelitian

Proses memberikan virus ini disebut dengan "challenge" study.
Setelah di-"challenge", primata diperiksa swab hidung, swab tenggorokan, dan jaringan paru.

Hasil pada hampir semua penelitian vaksin menunjukan SARS-CoV-2 tidak ditemukan pada paru-paru, tetapi hampir selalu ditemukan pada hidung, tenggorokan, atau saluran nafas atas lainnya.
Masih ditemukannya virus di saluran nafas atas menimbulkan kesimpulan vaksin tidak melindungi infeksi. Karena si virus masih bisa menyerang saluran nafas atas dan brekembang biak disana.

Tidak ditemukannya virus dalam paru-paru disebut vaksin mencegah COVID.
Kenapa berbeda?

Vaksin sepertinya menimbulkan kekebalan humoral sehingga mencegah COVID, si penyakitnya. Tetapi vaksin sepertinya tidak terlalu menimbulkan kekebalan seluler sehingga saluran nafas atas masih rentan.
Kalau saluran nafas atas masih terinfeksi, apakah artinya si virus masih bisa keluar dari saluran nafas atas saat bernafas sehingga virus berpindah ke makhluk yang lain?

Belum ada yang bisa menjawab dengan pasti, tetapi para peneliti mengasumsikan iya.
Kita kemudian langsung loncat ke uji klinis fase 3.

Semua uji klinis vaksin COVID didesain untuk menentukan efikasi terhadap COVID bergejala

Bukan untuk efikasi terhadap infeksi saluran nafas atas.
Bukan untuk efikasi terhadap COVID berat dan kematian
Perhitungan sampel penelitian didasarkan pada jumlah COVID bergejala yang diinginkan terjadi.

Kalau jumlah COVID bergejala dalam penelitian sudah mencukupi, langsung analisis. Baik itu COVID yang timbul berat ataupun ringan.
Partisipan baru akan dilakukan tes PCR kalau mengalami gejala tertentu (yang beda-beda di tiap penelitian) dan melaporkan kepada peneliti.

Kalau tidak ada gejala ya tidak lapor.
Kalau tidak merasa ada gejala ya tidak lapor.
Kalau ada gejala tapi diabaikan, ya tidak lapor.
Jadi titik awalnya adalah partisipan harus merasa ada gejala dulu sebelum dites. Kalau ada gejala, itu lebih kepada sudah timbul infeksi di paru-paru, bukan hanya infeksi di saluran nafas atas saja.
Jadi semua angka efikasi pfizer 95%, moderna 94%, sinovac bandung 65% itu efikasi terhadap COVID bergejala. Bukan efikasi terhadap infeksi, bukan efikasi terhadap penularan.
Bagaimana dengan efikasi terhadap infeksi saluran nafas atas?

Cuma satu penelitian yang melakukan PCR rutin. Yaitu Oxford-AstraZeneca.

Sebagian partisipan diberikan perlengkapan untuk melakukan swab mandiri setiap minggu. Dicatat ya, swab mandiri. Konteks dan detil ini penting.
Kemudian catatan lainnya.

Masih adanya infeksi saluran nafas atas bukan berarti kemampuan menularkan (tingkat infeksius) yang sudah mendapat vaksin tetep sama dibanding yang ga dapet vaksin.
Vaksin dipercaya tetep mengurangi kemampuan replikasi si virus di saluran nafas atas kita, dan viral shedding (jumlah virus yang kita keluarkan saat bernafas, bicara, batuk, dll) juga menurun.

Tapi, datanya masih amat sangat terbatas
Ini menunjukan efikasi terhadap infeksi tanpa gejala sekitar 60%.

Tetapi data ini kurang valid karena apa yang terjadi setelah dosis kedua tidak diketahui.
Vaksinasi di Indonesia berfokus pada usia 18-59 dan mengecualikan beberapa kelompok seperti lansia 60+, ibu hamil, menyusui, dan beberapa kondisi tertentu.
Jika vaksin mencegah penularan, maka memberikan vaksin kepada semua orang pada kelompok risiko rendah membuat si virus sulit untuk berpindah dari satu ke orang lainnya. Sehingga mereka yang tidak mendapat vaksin pun terlindungi.

Ini yang kita sebut herd immunity.
Tapi...penelitian pada primata dan oxford menunjukan bahwa kita masih bisa tertular walau sudah mendapat vaksin. Kalau ini diartikan kita masih bisa menularkan, gugur sudah konsep herd immunity.
Tidak ada lagi namanya herd immunity. Si virus malah bisa menyebar dari satu orang ke orang lainnya tanpa terdeteksi.

Kenapa? Karena setelah mendapat vaksin kita tidak tau apakah saluran nafas atasnya terinfeksi, atau tidak. Karena tidak ada gejala.
Perhitungan populasi yang harus divaksinasi agar mencapai herd immunity harus menggunakan angka efikasi terhadap infeksi. Bukan angka efikasi terhadap COVID bergejala.
Untuk nakes, mereka yang tidak mendapat vaksin akan dikeliling temen kerjanya yang mendapat vaksin.
Jika nakes yang sudah mendapat vaksin tiba-tiba berubah perilakunya, misalnya menjadi lebih sering kumpul-kumpul dan tidak menggunakan nakes, maka nakes yang udah dapat vaksin ini semakin rentan terinfeksi saluran nafas atasnya. Menjadi pembawa virus tanpa merasa sakit.
Termasuk kalau para nakes ini saat diklinik atau rumah sakit menjadi abai. Tidak menggunakan masker.

Para nakes yang tidak mendapat vaksin jadi makin terancam. Begitu pula pasien.
Perubahan perilaku ini sudah sering kita saksikan. Orang-orang yang mampu melakukan tes PCR setiap minggu menjadi lebih sering kumpul-kumpul tanpa masker dengan dalih sudah dites.

Perubahan perilaku akan membuat "effectiveness" vaksin menjadi jauh lebih rendah dari efikasinya.
Jadi

Pasca vaksinasi nakes, untuk fasilitas kesehatan yang harus dilakukan ada 3
1. Perketat protokol kesehatan seketat-ketatnya
2. Lakukan tes antigen atau PCR kepada nakes lansia dan nakes lainnya yang tidak diperbolehkan mendapat vaksin. Agar segera terdeteksi jika tertular.
Kelompok kedua yang juga harus hati-hati adalah keluarga nakes, terutama lansia dan kel risiko tinggi. Prinsipnya sama dengan nakes lansia dan nakes yang tidak diperkenankan mendapat vaksin. Mereka menjadi lebih berisiko tertular.
Perkantoran baru bisa aman setelah semua kelompok risiko tinggi mendapat vaksin. Lebih aman lagi kalau hampir semua masyarakat sudah divaksinasi.

Harapannya vaksin dapat melindungi kita dari kematian dan COVID berat.
Oleh karena itu, negara lain berlomba-lomba vaksinasi kelompok risiko tinggi terlebih dahulu. Nakes dan lansia.

Israel melaju paling cepat untuk vaksinasi lansia mereka, berbeda dengan kebanyakan negara yang fokus memvaksinasi nakes terlebih dahulu.
Tapi ini pun belum ada buktinya.

Inget kan konteksnya? Desain penelitian bukan untuk menentukan efikasi kasus berat dan kematian.
Sinovac dari data Brazil ada 7 kasus berat, semuanya di kelompok plasebo. Tapi data ini baru berdasarkan pers rilis.
Bukan "vaksin tidak mencegah kasus berat dan kematian" ya

Tapi "kita belum punya data yang kuat bahwa vaksin mencegah kasus berat dan kematian"

Dalam beberapa bulan kedepan kita akan memiliki data yang lebih baik.
Banyak sekali masyarakat yang marah Indonesia beli sinovac. Orang-orang ini tidak menyadari kalau negara middle income seperti Indonesia memang saat ini hampir tidak ada yang kebagian pfizer ataupun moderna. Setidaknya tidak di Q1.

Kita semua tidak disisakan negara kaya.
Sampai data tersebut ada, terutama data soal pencegahan infeksi saluran nafas atas, kita harus menganggap vaksin tidak mencegah penularan agar para lansia tidak menjadi korban vaksinasi massal
You can follow @liquidkermit.
Tip: mention @twtextapp on a Twitter thread with the keyword “unroll” to get a link to it.

Latest Threads Unrolled:

By continuing to use the site, you are consenting to the use of cookies as explained in our Cookie Policy to improve your experience.