Kalau nggak pernah kerja di portal berita yang beritanya detik per detik, emang nggak akan kebayang sih bisnisnya gimana. Bukan “demi traffic” tapi memang harus dapat sebanyak mungkin traffic untuk bisa bertahan hidup :(
Dulu zaman koran mah orang mau baca itu BAYAR. Koran ada iklannya, pembaca pun bayar. Media online mah, udah iklannya nggak semahal di koran, bacanya gratis pula. Lalu gajian dari mana kalau traffic juga berantakan?
Belum ada model baru untuk media bisa tetap idealis dan bisa bertahan ngegaji karyawan. Jualan subscription media online itu susaahhhh berdarah-darah. Kenapa harus langganan kalau sama-sama bisa dapet info dari media yang nggak empatik dan modal clickbait, kan?
Satu lagi, jadi wartawan zaman sekarang ya, nyari narsum itu setengah mati
Dulu orang bangga diwawancara media, sekarang kenapa harus mau?
Pertama, reach medianya emang seluas apa? Sebanyak apa yang baca? Lebih luas mana sama followers narsum di socmed?

Pertama, reach medianya emang seluas apa? Sebanyak apa yang baca? Lebih luas mana sama followers narsum di socmed?
Kedua, males ah diwawancara sama media pun karena udah banyak orang yang nggak percaya lagi sama media. Mending live sendiri di IG dong? Nggak dicecar, nggak perlu cover both side, nggak ada pembanding, yang penting informasi tersampaikan

Terus pernah juga dicurhatin teman yang “influencer” dan bingung kok ternyata wawancara di media itu nggak dibayar? 
Culture-nya influencer tuh dateng event cuma duduk diem aja dibayar. Bingung dong kenapa harus meluangkan waktu 1 jam untuk wawancara tanpa dapat bayaran?

Culture-nya influencer tuh dateng event cuma duduk diem aja dibayar. Bingung dong kenapa harus meluangkan waktu 1 jam untuk wawancara tanpa dapat bayaran?
Sekarang “exposure” lekatnya sama influencer, padahal dari dulu media juga pake itu kan.
Ya harus mau dong diwawancara, kamu kan dapet exposure. Makanya artis-artis dulu kerjanya media visit biar dapet exposure. Lah sekarang mah ga butuh
Ya harus mau dong diwawancara, kamu kan dapet exposure. Makanya artis-artis dulu kerjanya media visit biar dapet exposure. Lah sekarang mah ga butuh

Perasaan baru beberapa tahun lalu yang dibahas tuh cuma “senjakala media cetak” sekarang mah udah “senjakala media massa” sih. Karena media online juga udah bingung mau dibawa ke mana? Gimana caranya biar bisa tetep idealis dan wartawannya tetep gajian?

Betul, sedih banget sih dibilang “nggak punya empati” karena benar tapi kan nggak ada pilihan yang lebih enak di sini. Pilihannya hanya tidak enak & sangat tidak enak:
1. Bikin berita tanpa empati (tidak enak).
2. Nggak bikin lalu risiko kehilangan pekerjaan (sangat tidak enak). https://twitter.com/mumualoha/status/1348259750908022785
1. Bikin berita tanpa empati (tidak enak).
2. Nggak bikin lalu risiko kehilangan pekerjaan (sangat tidak enak). https://twitter.com/mumualoha/status/1348259750908022785
Lalu ada pilihan lain yang sangat sangat tidak enak: Medianya bertahan idealis, sesuai kaidah jurnalistik tapi terus pelan-pelan karyawannya yang berkualitas, yang bisa kerja sesuai kode etik, di-PHK karena perusahaan nggak sanggup lagi menggaji 




Btw aku bukan reporter portal, 10 tahun kerja di media, cuma 2 tahun jadi reporter portal. Itupun wawancaranya Lee Min Ho bukan nongkrong di KPK. Kebetulan kuliah Jurnalistik dan belajar segala sesuatu yang sangat sangat ideal selama 5 tahun yang bikin 
pas ketemu realita



Lalu, kalau kalian mengeluhkan media yang clickbait, itu karena kalian baca berita yang lewat di timeline. Jadi kesal. Coba langganan @jakpost atau @hariankompas konten premiumnya pasti nggak bikin kesal. Cuma 50ribuan sebulan

Mau tambahin ini: https://twitter.com/annisast/status/1348491862860984322