Izinkan saya cerita tentang jilbab tanpa paksaan.

Saya berasal dari pondok pesantren, berjilbab atas disiplin sekolah dan melihat ibu pakai. Namun sekarang saya merasa ini bagian dari diri saya, semoga istiqomah sampai akhir hayat.

Dan bbrp teman pondok sy juga ada yg lepas.
Sebagai teman kadang tanya saja kenapa ? Namun untuk menasehati sampai memaksa lagi, tidak !

Karena kami sama-sama tahu apa hukumnya, jadi yg justru ditekankan adalah kenapa ? Ada problem apa ? Dengan cukup mereka membuka diri saja sudah alhamdulillah.
Biasanya ada masalah keluarga, pergaulan teman, depresi dan sebagainya. Jika jilbab membuat mereka terkekang, tugas kami sebagai teman "seburuk-buruk apapun dia kami tak mau mereka melangkah lebih parah dari melepas jilbab".
Misal : jadi brandalan, ikut kajian islam radikal, mabok, dan narkoba.

Sebagai teman tetap kita rangkul, gak apa2 gak mau berjilbab asal jangan menginjak lebah hitam yang jauh berlipat-lipat lebih parah dari lepas jilbab.
You know what ?
Gak semua orang mau membuka diri ketika depresi atau merubah diri dari yang tadinya tanda kutip "wanita berjilbab" sekarang lebih "free". Tapi kalau pas kita jalan dia masih tau solat lima waktu.

Dlm hati bersyukur sekali. Rasa syukur itu tak hanya ada ketika..
Kita mendapat nikmat, namun melihat kebaikan-kebaikan orang lain juga kita harus bersyukur, sebab Allah pun Maha Mensyukuri kebaikan-kebaikan hambaNya. Wallahu syakuurun haliim.
Singkat kisah.

Saat saya kuliah dan kerja.
Dunia lebih bebas, dari pergaulan yang biasanya di ponpes menjadi bergaul dengan masyarakat umum.

Saya pernah tanya ke Umi guru saya, Umi kak Icha sepertinya mau mondok lagi Umi untuk perdalam kitab. Namun Umi berkata.
"Kak Icha kan sudah mondok sekarang waktunya mengamalkan ilmu di masyarakat, agar kita tahu bagaimana kondisi dan situasi masyarakat dengan berbagai macam karakternya"

"Kalau kita mondok saja tanpa pernah mengamalkan dan berkecimpung di masyarakat nanti..
nanti ilmu sebanyak apapun yang kita miliki akan sia-sia, jadi memang harus diamalkan. Dan juga harus tau karakter kita bergaul.

Sebab ndak semua senang, gak semua mau dengar syiar kita, banyak yang syirik dan fitnah. Karena itu jihad di masyarakat luas juga sama besarnya...
Dengan mengabdikan diri di Pondok Pesantren menjadi Guru dan Murid. Harus bermental baja, dan pintar-pintar kita mengenali dan memaklumi karakter orang".
๐ŸŒป๐ŸŒป๐ŸŒป๐ŸŒป

Ilmu agama yang kita miliki dari pondok pesantren dan bangku kuliah tak akan berguna jika kita tak mengamalkannya dimanapun berada. Di samping itu harus tahu betul situasi dan kondisi lingkungan yang kita hadapi.
Dengan itu menjadikan kita orang yang lentur namun paham akan ajaran islam yang lurus.

Tanpa memahami lingkungan sekitar, sia-sia ilmu kita.
Saya kuliah ambil fisip, waktu saya kuliah dari 80 org mahasiswa hanya tiga orang berjilbab.

Saya selalu ingat akan pesan kiyai dan Ustadzah saya dimana beliau juga mudir mahad yang semaunya sudah banyak pengalaman hidup.
Beliau-beliau berpesan, jika di luar nanti yang menjadikan kita nilai plus dimata orang lain adalah akhlakul karimah kita.

Dan dakwah yang paling baik adalah bukan diatas podium, bukan banyak terima amplop dari khutbah jumat namun dakwah adalah dengan memberi teladan.
Bagaimana kita berpakaian, bagaimana kita bersikap, bagaimana kita ramah dan santun sepanjang dosen mengajar, bagaimana kita amanah, dan yang paling penting yang paling mulia di sisi Allah adalah Taqwa.
Sekiranya itu pesan yang saya selalu ingat. Pesan guru saya di pondok pesantren bukan jadilah pendakwah, namun jadilah teladan.

Ini bagi saya teramat berat, bahkan di keluarga sekalipun.
๐ŸŒป๐ŸŒป๐ŸŒป

Pertemanan kuliah.
Mahasiswa Fisip HI pasti tahu bahwa jurusan kita adalah jurusan yang gemerlap, fancy, dan hedon.

Terlebih saya di Jaksel dimana secara intelektualitas mereka juga lebih banyak tau akan suatu hal, hiburan apa lagi. Musik2 indie, konser, mall yg asyik.
Saya ingat sekali bagaiman teman2 saya seusia liburan menceritakan liburan mereka bareng keluarga dari Belanda, Korea, Bali, Jepang, Thailand dll.

Saya pun sering kebagian oleh2 kaos dan marshmellow.

Semua pilihan ada :
Kalau mau tempat maksiat temenku banyak suggest bisa.
Sekedar minum-minum mereka pasti tau, dan saya pun jadi tahu wajah-wajah yang abis minum, konsumsi drugs saya tahu, itu biasa jadi obrolan di tongkrongan. Saya kesitu ga buat gabung namun ngabaur untuk omong tugas.
Namun mereka sangat menghormati saya yang berjilbab, kalau saya gabung di pecel lele saat makan siang atau sore untuk ngomongin tugas. Beberapa teman-teman yang merokok termasuk perempuan ya saya biarkan saja, paling saya sindir dengan saya batuk, dan memang saya selalu batuk..
Kalau ada rokok,
Waktunya saya solat ya saya solat, saya cuma bilang "eh udah adzan solat dulu yah".
Solat dulu yah itu buka semata2 mata saya polos ngomong solat, melainkan suatu ajakan "yuk solat".

Nanti pas saya bilang "solat dulu yah" pasti ada yang nyeletuk "weee solat weee, solat jumat doang"
Dalam pertemanan ciwi-ciwi teman-teman saya tidak muslimah, yang dari pesantren hanya saya saja. Saya biarkan saja mereka mau bergaya seperti apa saja.

Dalam pergaulan meski muslimah saya tak mau jadi anak cupu, yang kalem agamis tapi tak pandai bergaul. Saya juga Ikut membaur.
Saya katakan pada ibu "teman-teman di luar pondok pandangannya sayang sekali duniawi banget, panas gak adem"

Ibu jawab :

"Gak apa2 justru itu bagus, jadi kamu tau orang, kalau kita disuguhin yang baik-baik aja, kita jadi gak bisa hadapi orang".
Kami belajar filsafat barat lebih dominan, banyak teman2 saya yang menjadi mempertanyakan dirinya dan hakikat mereka dalam ritual beragama.

Proses menjadi ateis bukan semata2 ingin menjadi keren, karena baca filsafat melainkan menjadi bertanya apakah benar ibadah yg dilakukan...
Hanyalah doktrin dan diskursus Al Quran, diskursus islam, disiplin sosial dalam beragama atau tidak.

Ateis mereka karena proses mencari kebenaran, dan saya yakin itu hanya fase dimana mereka belajar filsafat.
Dan backgroud agama yang dimiliki kan juga kurang, ngaji mungkin rajin, bahkan banyak juga yang sekolah di Islamic. Namun ketika dihadapkan dengan sebuah proses berfikir itu menjadi "blank"

Karena selama ini praktik spiritual indentiknya sebatas solat, zakat, ngaji...
Dan hal-hal yang berkutat pada syariat sampai ke hakikat itu belum. Lalu dihadapkan dengan hantaman pergaulan dan ilmu filsafat. Kebanyakan teman-teman saya yang menjadi meremehkan agama adalah yang pintar semua, karena memang mereka berfikir dan membaca.
Setiap saya menyaksikan teman2 saya seperti itu, saya memang tak ada daya untuk mendakwahi mereka dengan nasihat dan kemampuan berdebat secara logis dengan pendekatan sosial, filsafat, dan agama.
Itu akan memakan waktu panjang, dan berapa teman yang harus saya nasehati ? Hampir semua. Saya pun harus bisa masuk dunia mereka, mengetahui musik mereka, buku bacaan, film, artis hollywood.

Intinya saya hanya mendoakan, selalu mendoakan akan semuanya tetap dalam keimanan.
Tapi untuk menganjurkan berjilbab, ikut pengajian, dan solat. No saya tak mau itu.

Terlebih dalam pola berfikir kami itu adalah wilayah pribadi seseorang, sama di kantor juga gitu. Kecuali udah deket banget baru bilang "eh solat luh"
Namun setiap bertanya masalah agama mesti ke saya, para perempuan juga senang sekali tanya ke saya "pakai jilbab panas ga sih ? Emang enak nis pakai jilbab".
Gak mungkin saya jawab langsung ujug-ujug "ya kan dianjurkan dalam Al Quran menurut aurat sampai dada, barang siapa yang tak menuruti kepalanya dengan jilbab haram mencium bau syurga".

Saya hanya jawab sedernaha " enak sih, pakai jilbab jadi bersih rambut, aturan sampon 1 hari..
aturan sampoan sehari sekali, jadi dua hari sekali bisa"
Lantas jawaban mereka apa ?

" iya sih aku tuh sampoan sehari sekali karena rambut kotor banget kan, gimana sih kalau ga ditutup itu, ada asap mobil, motor, terus asap makanan kantin. Paling pakai tabur Nis biar gak lepek..
*paling pakai bedak tabur Nis biar ga lepek, atau dry shampo".

That's it aku bicara tentang hijab ga masuk ke doktrin ajaran islam gimana pahala dan dosanya.
Seiring berjalannya waktu ada saja yang belum berhijab ngomong "Nisa nanti bisa ajarin aku gak cara berjilbab kayak kamu"

"Oh iya ini gampang banget"

" banyak sih cara berjilbab aku kan udah lihat tuh macam2nya, tapi aku mau style kaya kamu pakai"

"Oh aku pakai segi empat"
Kurang bersykur apa temen ku yang tadinya sudah ateis jadi tanya tentang jilbab.
Itu dulu waktu semasa kelas kuliah mau selesai. Beberapa teman saya terutama perempuan fakta-fakta berjilbab, tanya tentang islam yang gak menghakimi.

Kebetulan di HI juga dipelajari mengenai pola islam jihadis sekalas Taliban, ISIS, Al Qaeda, Boko Haram, dsb....
Jadi tahu islam seperti apa yang kami inginkan, yang jelas bukan radikal, kaku, gak mematikan cara berfikir, namun juga relevan.

Saya biasa suggest coba ikut Muhammadiyah dan NU mereka memakai imam mazhab yg 4 dan cara dakwahnya juga relevan sesuai zaman, gak penuh paksaan.
Namun teman saya bertanya :
"Itu bukannya ormas ya ? Memang bedanya apa ?", kalau di sini di kampus apa sih aslinya ?

"Iya NU dan Muhammadiyah itu ormas, namun mengakomodir kepentingan agama islam dan maslahat negera. Mereka juga gak pro radikalisme, dan gak anti sains"
"Bedanya NU praktik keagamannya ada unsur tradisi, seperti yasin, tahlil, maulid Nabi, sarungan, kalau Muhammadiyah lebih modern, dalam ibadah lebih ringkas, seperti doa2nya ringkas, tak ada tradisi tahlilan. Tinggal pilih mana sama saja terserah kalian".
" Tapi Nis kalau kita belajar islam terus jadi agamis gitu kita harus jadi gamisan gitu gak sih, terus pakai cadar, terus jadi ikhwan akhwat yang taruf gitu".

"Yah enggak berislam gak harus mengganti identitas diri, kita tetap bisa bergaul dengan lingkungan..
Masih bisa main musik, denger musik, mencari nafkah, menuntut ilmu, semua amal kebajikan di luar ibadah formal seperti solat, zakat, puasa, sejatinya bernilai ibadah jika "diawali bismilah dan niat ibadah"
๐ŸŒป๐ŸŒป๐ŸŒป๐ŸŒป
Alhamdulillah wasyukurillah teman-teman saya yang dahulu gemar merokok sebagai wanita, jarang masuk kampus, hidup ala gue aja pokoknya. Pas ketemu udah lama udah berjilbab.

Yang dulu tanya ajarin cara berjilbab juga sudah menikah dan rumah tangganya samawa...
Padahal sempat ateis.

Dari atheisme saya juga banyak belajar ternyata tak semua orang yang awalnya bertuhan menjadi tak bertuhan ada beberapa karakteristik .

1. Memang ada rasa sombong setelah belajar,
2. Mencari hakikat kebenaran,
3. Pergaulan,
4. Tenggelam dalam pemikiran.
Proses mencari hakikat ini tidak hanya dialami kami mahasiwa waktu itu, bahkan sampai dosen kami yang telah mendapat pendidikan di luar negeri, atau dalam negeri namun tak pernah menyentuh atau mendalami islam.
Hal ini yang perlu digarisbawahi.

Dalam proses orang mencari hakikat kebenaran dalam dirinya padahal sejatinya sudah beriman, biasanya dihadapkan dengan proses berfikir mendalam "apakah keimanan saya ini sebatas karena keturunan orang tua, doktrin sekolah, konstruksi sosial".
Sebab perasaan itu pasti ada, ketika saya tanya mereka kenapa ?

" jawabannya ga enak sama Tuhan, gua solat tapi ga ada keyakinan"

Saya tak bisa kasih masukan banyak jika itu temen, temen kantor, dan dosen.

Mereka memang terjebak dalam dilema batin.
Tak mungkin saya berkata "jangan keluar islam, jangan gak solat nanti masuk nereka".

Saya hanya doakan semoga Allah beri hidayah, sesekali saya masuk ke dunianya, lalu pas waktu solat mereka juga harus ikut saya.

Akhirnya mereka jadi ikut wudhu juga.
Begitu terus.

Lama-lama alhamdulillah balik lagi solat, balik lagi bertuhan.

Kalau yang masih gak mau bertahan ya kita gak boleh diskriminasi, mencibir, dsb. Dalam pergaulan harus tetap baik meski mereka atheis sekalipun.
Kekuatan doa itu ada namun ujian doa adalah kesabaran. Jadi berdoa saja terus walau nasib berubah atau tidak. Karena keimanan itu wilayah privasi toh ?

Gelombang atheisme dan proses mencari hakikat hidup dan Tuhan tak jarang menyebabkan seseorang justru salah langkah masuk ke..
Jurang radikalisme. Islam radikal. Ya itu nyata adanya terjadi di sekeliling saya bahkan kepada orang berilmu doktor dan dosen sekalipun.

Setelah masuk ke dalam aliran yang salah menjadi tertutup, ada yang sampai berhenti mengajar dan bekerja, menghapus semua tulisan...
di bidang akademik karena terlanjur salah dalam mengikuti aliran islam.

Namun lagi-lagi sebagai orang terdekat kitapun tak bisa mendebat pilihan itu, ikut prihatin pasti iya, namun saya selalu yakin orang yang mencari kebenaran / hakikat itu suatu saat akan sampai.
Oleh sebab itu saya senantiasa berdoa kepada Allah agar semua teman2 saya, kerabat, dan Ibu2 dan Bapak2 senior-senior diatas saya Allah jaga imannya.
Itu baru lingkungan kampus dan kantor.

Apa kabar di masyarakat & keluarga besar ?

Itupun terjadi yakni proses mendekatkan diri dengan tuhan ataupun mempertanya keyakinan diri sendiri.

Ada yang ikut ajaran ahlussunnah wal jamaah, ada yang beda juga.
Apa pas keluarga mereka meninggal kami tak melayat, mendoakan dan memandikan ?

Tentu tidak, pasti kami turut serta merta membantu, kecuali mereka yang minta tidak mau karena ajarannya sudah beda.
Berapa banyak di dunia ini yg harus kita sadarkan. Apa semua orang kita paksa.

Hei kamu berjilbab !
Hei aliran kamu tuh salah !
Hei gak bertuhan masuk neraka !
Kenapa gak solat ? di Fiqih gak solat tuh kafir halal kepalanya dipenggal ! Itu jumhurul ulama loh yg bilang !
Aliran apapun ketika tidak aswaja dalam hati saya jujur tetap ada rasa prihatin, namun selama mereka tak menghalal kan Bom, masih rukun dengan keluarga, anak istri dinafkahi. Saya mensyukuri kebaikan-kebaikan itu.

Kita terus berjalan saja, jgn menghina ajaran dan Tuhan org lain.
Kecuali jika ajaran kita diserang brutal, dihina, difitnah baru kita bertindak. Selama tidak, dalam hidup bersosial sesama manusia, tetap baik saja. Jika seandainya mereka benar terbukti teroris toh ada surat dari kepolisian untuk diadili.
Begitu juga dengan teman2 yang atheis, jika mereka mengajak berdebat akan Tuhan, atau benar bertanya karena ingin tahu. Jawab dengan baik, jika tak mampu lebih baik hindari. Dan doakan semoga kembali dalam keimanan, dan tetap Allah sayang.
Teman-teman saya yang atheis karena sombong akan ilmu yang dipelajari perlahan kembali beriman setelah dihantam ujian kehidupan.

Ada yang memilih untuk tetap tidak beriman, karena pilihannya sendiri.

Dan yang mencari proses kebenaran ini justru banyak yg kembali beriman lagi.
Kompleks bukan ?

Ya karena beragam bukan soal berjilbab atau tidak.

Namun juga ruh kita harus diisi dengan rasa yakin, kesadaran, dan kemauan.

Oleh sebab itu sering kita dengan para Ustadz dan Ustadzah berkata segala puji bagi Allah atas nikmat islam, iman dan ihsan.
Itu bukan sekedar perkataan melainkan benar bahwa nikmat iman, ihsan dan islam itu sangat mahal sekali, begitu juga dengan hidayah.

Seperti saya misal sekolah di pesantren untuk belajar islam tujuan orang tua saya dulu.
Banyak yang ingin sekolah di pesantren gak punya biaya, tapi pengen banget belajar islam.

Akhirnya belajar ikut ngaji dari satu majelis ke majelis yang lain.

Alhamdulillah soleh, bener hidupnya, lurus hidupnya.
Saya juga mendapati orang-orang yang husnul khotimah mereka adalah sepupu2 saya yang meninggal di usia 30-an s.d 40-an. Ibadahnya sebagai ibadah pada umumnya saja. Kalau adzan solat, ngaji tadarus quran juga gak banyak 2 banget biasa selembar-selembar.

Sabab husnul khotimah...
Ini adalah pengakuan dari orang-orang yang bicara setelah mereka meninggal. Saya sendiri tak tahu ternyata kebaikannnya begitu banyak, padahal ibadahnya pada umumnya saja.
1. Sabar menghadapi ujian.

Yang satu kanker 3 bulan, ketika diuji penyakit kanker itu beliau gak ngeluh sakit, aduh sakit, aduh sakit, tiap ada yang jenguk wajahnya selalu berseri, ramah, senyum. Padahal kami saudara terdekatnya tahu itu kondisinya sedang sakit sekali...
Jadi ketahuan pas udah stadium 4, dan sudah menggerogoti aliran darah, dan badan. Namun wajahnya segar dan berseri saja, enjoy aja kalau diajak ngobrol padahal sedang nahan sakit.
Ketika beliau meninggal itu wangi sekali-wangi sekali. Wajahnya seperti bayi, orang meninggal namun wajahnya dielus-elus yang melayat saking indahnya, karena senyum.
Sepengetahuan saya dari kerabat beliau, dan tukang2 makanan yang suka lewat rumahnya. Cerita "ya Allah mbak bapak mah orangnya baik sekali, sering ngelakuin dagangan saya, saya kalau ga ada bapak kalau anaknya makan bakso saya gak apa2 gak bayar, saya inget kebaikan bapak".
Kerabat kantornya juga cerita :
"Si "I" kalau lagi acara makan-makan barang rekan kantor waktunya adzan ngacir aja solat, kalau ditanya mau kemana jawabnya mau solat dulu "gue", entar temennya ngikut deh. Gitu sih mbak, gak pernah gibahin orang padahal orang semua cerita ke dia".
2. Tak gemar bergibah

Dahulu saya ingat beliau ditinggal yatim piatu oleh ayah masih kecil dan ibunya saat SMA. Orangnya pendiam, gak banyak ngeluh, gak suka ngomongin orang. Ketika semua orang cerita ke beliau tidak menjadikan kesempatan mengadu domba satu sama lain"
Hanya dinasehatin, gak boleh begitu, selebihnya kalau ga didengar ya diam saja, dan senyum gak lantas ikut mencampuri"

3. Penyanyang dan gemar sedekah.
Ya beliau sangat penyayang kepada orang terdekatnya. Sedekahnya dengan membelikan keponakannya jajanan kecil2 ...
Pokoknya kalau lagi kumpul keluarga di rumah siapa, padahal itu bukan wilayah rumahnya. Tau-tau cari warung, beli beng-beng dan wafer satu pak. Nanti kita kaget dari mana ? Dari warung nih ambil nih. Selalu cari warung untuk sekedar nyengin keponakan kami yang bocil2.
Sabar saat ditimpa ujian, akhlaqnya baik sekali, tak suka menyakiti secara lisan, dan gemar sedekah baik untuk masjid atau hal sederhana seperti nyenengin keponakannya, receh banget lah itu.

Akan tetapi meninggalnya husnul khotimah.
Beliau laki-laki. Namun dulu ibunya juga tak berjilbab, karena memang belum musim jilbab seperti sekarang, Ibu beliau kakak ibu saya, juga meninggalnya bagus.

Beliau sakit kanker juga, jadi kalau kata dokter si anak ini memang ada genetik kanker juga.
Dulu belum zaman BPJS jadi biaya berobat kanker itu mahal sekali, karena tidak ditanggung RS, belum zaman asuransi juga. Jadi kontrol bayar sendiri. Sementara beliau janda. Namun mencari biaya berobat sendiri dari hasil menjahit.
Singkat cerita ketika di rawat di RS beliau memang tutur katanya manis sekali, manis sekali. Orangnya juga baik ditambah tutur katanya manis.

Hanya dengan beliau sabar ketika dirawat dan kemoterapi kanker, dan tiap suster dan dokter yang rawat tutur katanya manis sekali.
Kalau abis dikemo bahasanya kata Ibu saya "suster yang cantik dan dokter yang baik, terima kasih banyak ya sudah merawat saya".

Banyak berterima kasih atas kebaikan orang lain.

Saat beliau sakit parah hingga meninggal di RS. Dokter dan suster nangis...
Tidak hanya itu beliau pun dibebaskan biaya rumah sakitnya, padahal keluarga juga ada untuk bayar.

Dokter bilang, Ibu biayanya dibebaskan tak perlu bayar, saya sangat berkesan dengan ibu "M", orangnya baik, sakit tidak menyusahkan, kami semua kalau merawatnya dibuat terharu.
Dengan kebaikan-kebaikan sederhana itu menghantarkan beliau husnul khotimah, dan menurut orang2 terdekat waktu meninggalnya juga wangi sekali.
Masih banyak cerita indah tentang akhir hayat husnul khotimah. Dengan kita berbuat baik terhadap orang, tidak suka mencaci dan mengibah orang lain, sabar ketika menghadapi ujian. Ini bagian dari akhlak.

Insyaallah saya yakin kita semua bisa husnul khotimah.
Dalam islam itu ada ibadah yang sifatnya ushuliyyah dan furuiyyah.

Ushuliyyah adalah yang pokok :
1. Akidah/Tauhid.
2. Syariat
3. Akhlaq

Namun sayang seringkali kita berhenti di syariat saja. Solat, zakat, puasa jalan, namun berakhlak dengan sesama manusia & alam buruk.
Kita penuhi aspek tiga itu. Dalam bermasyarakat misal ada orang jarang solat namun mengaku islam, di KTP pun islam, namun akhlaqnya baik.

Jika kita sudah tau ilmunya bahwa ada aspek ushuliyyah yang harus dipenuhi sebagai muslim. Maka ajak saja ketika ada pengajian...
Bu../Pak...besok di rumah si Anu ada pengajian dateng yuk.

Nanti sambutannya beda-beda ada yang ingin ikut dan ada yang tidak. Sudah sebatas itu saja. Jangan kita bilang di depannya dan dibelakang dia "si anu islam tapi gak pernah ngaji, baik mah baik tapi solat ngaji enggak".
Ada yang hobi ngaji, pengajian kemana aja didatangin, tapi semua orang diadu domba.

Yang seperti itu bagaimana ?
Jangan mihak siapapun, netral saja jadi orang, namun juga kasih tau ga boleh begitu, itu gak baik. Nerima atau tidak, didengar atau enggak. Itu urusan dia dgn Allah.
Kalau udah gemes gak tahan lagi dengan perilaku orang-orang itu, gimana.

Di sana justru puncak kesabaran kita diuji, dikala kita tak dapat melakukan apapun hanya selain berdoa. Allah akan dengar, pasti akan dengar. Dengan lisan kita sudah tak mampu, dengan tangan kita tak mampu.
Maka dengan berdoa, doalah yang baik-baik dengan sabar, dan ikhlas. Sabar dalam berdoa adalah bagian dari kita berakhlak kepada Allah. Apa sabar dalam doa itu ?

Sabar dalam berdoa itu, entah doa kita dikabul atau tidak kita tetap saja memohon.
Doa sejatinya adalah ad'afu imaaan. Selemah-lemahnya imaan dalam mencegah kemungkaran.

Doa adalah ibadah hati, tak ada yang tahu kecuali Allah, Malaikat, dan jika kita sendiri yang bercerita.
Ada tiga mencegah kemungkaran dalam hadist : pertama dengan lisan, kedua dengan liyad (tangan), ketiga dengan qolbi (hati).

Meski mencegah kemungkaran dengan hati, namun doa a/ senjatanya umat islam. Ad'dua silahul mu'min.

Allah senang diminta kalau kita tak minta = sombong.
Mencegah kemungkaran dengan lisan (lidah) : ceramah, nasihat, khutbah, diskusi, pengajaran, dsb.

Yadihi (tangannya) : kekuasaan, wewenang, dan perbuatan.

Biqolbihi (hatinya) : Doa, dan dengan menolak kemungkran itu secara hati. Tidak dengan perbuatan tidak juga dengan lisan.
Ini bukan berlaku kepada menolak kemungkaran akan tetapi juga menyeru kepada kebaikan.

(Amar Makruf Nahi Mungkar) : Menyeru kepada kebaikan dan mencegah kemungkaran.

Meski ini adalah kewajiban yang berat, dan hukumnya adalah fardu kifayah, artinya harus ada yang mewakili.
Kalau tidak ada yang mewakili berarti si orang yang paling paham tadi berdosa. Namun bukan berarti kita sebagai orang awam tak berhak menyeru kepada kebaikan.

Tentu dengan porsi kita, bukan dengan porsi layaknya kiyai, dan ustadz/zah.

Misal dengan kita menjaga keluarga ...
Dari siksa api neraka, dengan mengajarkannya membaca Al Quran, solat, puasa, berbuat baik, dan akhlaq kepada sesama yang baik.
Dengan porsi dan kemampuan yang kita miliki saja. Jika setiap melihat orang soleh kita rindu, kita ingin keluarga kita seperti itu, kita ingin sahabat kita seperti itu bisa soleh.

Maka doakan, untuk ceramah misal kita tak mampu, untuk melakukan dengan perbuatan tak mampu.
Maka bantu dengan doa.

Karena mendoakan orang lain sementara orang tersebut tidak mengetahuinya balasannya adalah kita akan didoakan pula oleh para malaikat.
Dahulu sewaktu saya ngaji kitab taklim mutaalim ada ajuran untuk mendoakan orang soleh seperti kiyai, ustadz/zah, orang bertaqwa ketika kita ingin menjadi soleh seperti itu.

Apabila doa tersebut tidak Allah perkenankan kepada diri kita untuk menjadi seperti yang diatas, maka...
Tetap akan Allah kabulkan namun diketurunan kita. Jadi tetap doakan orang soleh, sebab orang soleh juga tetap butuh doa, bahkan ujian mereka biasa lebih berat dari kita orang awam.
๐ŸŒป๐ŸŒป๐ŸŒป
Berjilbab

Sejatinya berjilbab itu lebih kuat dari keinginan sendiri, bukan atas paksaan. Dan yang utama adalah luruskan niat terlebih dahulu, ikhlas lilahi tala. Yakni semata-mata karena Allah.

Bukan karena teman, ingin suami yang soleh, lingkungan, dsb.
Sebab ketika setelah berjilbab nanti namun Allah uji kita dengan lingkungan yang tidak baik, teman yang tak baik, suami yang nyatanya tak sebaik yang kita kira. Maka kita akan kecewa kepada Allah, bahwa selama ini saya sia-sia.

Allah Maha mengetahui kadar keimanan kita...
Ketika kita telah mengaku beriman kepadaNya maka tak akan Allah biarkan kita beriman begitu saja, mesti Allah uji keimanan kita, yang semua itu tujuannya adalah meninggikan derajat keimanan kita dengan sabar, syukur, tawakal, ikhlas dan istiqomah.
Jadi memang harus ikhlas semata-mata lillahi ta'laa untuk berjilbab. Insyaallah walaupun nanti menghadapi ujian yang berat semuanya bernilai pahala, menjadikan kita lebih kuat dan yang paling penting adalah mengangkat derajat kita di sisi Allah nanti.
Ini semua bukan berlaku pada berjilbab saja namun pada kebaikan yang lain. Ikhlas bila kita telah ikhtiar dan doa dengan sebaik mungkin namun ternyata Allah uji dengan sesuatu yang buruk.

Kita sudah berusaha menjadi orang baik, namun selalu disalah-salahkan, inipun harus ikhlas.
Sebab sayang, ketika kita telah berbuat baik namun diakhirat nanti terhapus bagai debu menurut ahli hikmah di kitab tanbihul gofiliin.

Benar-benar terhapus bagai debu, dan Allah tak mau menerima amal itu.
Sebab Allah tahu ketika di dunia, kita telah mencoba menipu Allah, kita mengatakan kepada manusia bahwa semua ini adalah semata-mata karena Allah, mengaku beriman, dsb.

Namun sejatinya kita hanya ingin dilihat manusia, dan sesumbar.

Sayang sekali kita sdh capek2 bernilai nol.
Kalau kita ikhlas insyaallah godaan seberat apapun, baik bisikan syetan maupun iblis tidak akan terpengaruh. Memang ada kalanya keimanan kita naik dan turun namun itu tak akan mempengaruhi niat kita. Bahkan ketika kita berbelok2 dikit Allah yang langsung tegur, Allah yg ingatkan.
Bisikan manusia pun tak akan terpengaruh, guru saya seringkali mengingatkan ini kepada saya.

" sayang kak Icha kalau kita apa-apa tiada keikhlasan, nanti yang kita lakukan akan sia-sia".

Pengasuh ponpes saya juga sering mengatakan bahwa ikhlas adalah ruhnya amal.
Dan guru saya senantiasa mengingatkan ini kepada saya, ini bahkan sampai saya jadikan catatan.
Memang berjilbab itu ada yang bil-ijbar (dipaksa) dan ada yang kesadaran sendiri.

Bil-ijbar yang seperti apa ? Seperti kita masuk pesantren, dan masuk sekolah IT. Namun itu tidak ujug-ujug kita dipaksa, tentu masuk sekolah tersebut ditanya dulu sama orang tua. Mau masuk ga.
Berat, benar berat kalau hanya orang tua yang mau, namun kita tidak mau. Itu sangat berat, apalagi di pesantren. Memang harus ada kemauan dari anak, ridho orang tua dan guru.

Jika guru ridho, org tua ridho, anaknya gak mau, mungkin 1/2 tahun bisa bertahan. Kesananya bisa gagal.
Yang lebih parahnya ada saja yang sudah gagal mondok malah jadi anak bandel. Jadi membangkang orang tua jadi malah ga mau ngaji sama sekali, yang gitu ada, ada aja.

Ada yang ga betah keluar namun belajar lagi di madrasah.
Yang untuk anak, mondok ga mondok tetep ngaji, tetap diarahkan agamanya. Sebab nanti ketika dia sudah dewasa dia akan butuh itu untuk menghadapi kehidupan dalam bermasyarakat dan ujian2 kehidupan.

Jika tidak mendapat pengajaran juga jangan menyalahkan orang tua.
Maafkan orang tua kita karena dulu tak mengarahkan ke agama, kita yang sudah paham, jangan lantas menggurui mereka.

"Mama gak boleh gini, Mama gak boleh gitu, Mama ga sejalan sama aku".
Dengan kita semakin islami malah justru menjauhkan hubungan kita dengan orang tua.

Membuat hubungan kita dengan orang tua jadi renggang, bahkan musuh yang harus diperangi. Padahal ibunya datang ke rumah ingin menengok cucu, karena beda aliran lantas kita usir ibu kita.
Ini terjadi loh di masyarakat, setelah islami justru si perempuan bersama suaminya memusuhi sang ibu. Menjadi anak durhaka. Padahal ibunya sudah solehah.

Hanya waktu kecil ga ngarahin ke agama, dan si anak mencari sendiri namun ketemunya yg kaku.

Walhasil ibunya selalu diusir.
Utamanya kita tak boleh merasa lebih baik. Ketika kita sudah istiqomah berjilbab jangan kita merasa sempurna imannya dari yang belum.

Dan ketika belum siap berjilbab atau tidak mau juga jangan merasa paling baik kadar keimanannya dari yang berjilbab namun akhlaknya tak terpuji.
"Merasa" paling baik kadar imannya dari yang lain ini penting, karena di sisi Allah akan menjadi hamba yang sombong sebab merasa akan masuk surga dan yang lain masuk neraka.

Biarlah penghakiman ini hanya milik Allah, bukan kita wilayah manusia yang berhak "merasa".
Kiyai saya senantiasa berkhutbah sambil bercucuran air mata ketika memberi wejangan kepada santri-santrinya, dengan memanggil kami semua nak.

"Nak menjadi pintar itu mudah, mudah sekali, kamu hafalkan dan pelajari bukumu itu, insyaallah. Tapi menjadi org baik itu lebih sulit"
Rasulullah SAW seusai pulang dari perang badar berkata : "Roja'tum minal jihaadil asghar ilal jihaadil akbar. Faqiila wa maa jihaadil akbar Ya Rasulallah ? Faqoola Jihadun Nafs".

Artinya :
" Kalian telah pulang dari sebuah pertempuran yg lebih kecil (asghar)
menuju pertempuran lebih besar (Akbar). Lalu sahabat bertanya, โ€œApakah pertempuran akbar (yang lebih besar) itu wahai Rasulullah? Rasul menjawab, "jihad memerangi hawa nafsu.โ€

(HR. Al Baihaqi)
Dalam perang badar sebagian umatnya Rasulullah ada yang terpotong telinganya, ada yang tergores pipinya, ada yang terluka, dan syahid di medan perang.

Namun apa yang Rasulullah SAW sampaikan "Kalian telah pulang dari sebuah pertempuran yg lebih kecil (asghar) menuju pertempuran
Yang lebih besar ?....Pertempuran melawan hawa nafsu".

Sejatinya jihadun nafs (jihad melawan hawa nafsu/melawan diri sendiri) adalah jihad yang lebih berat, dari sekedar angkat senjata.

Meski sejatinya dalam tatanan ilmu hadits tersebut digolongkan dengan
hadist dhoif.
Dalam konteks masa kini secara substansial sangat relevan. Ada yang lebih utama yakni melawan hawa nafsu, berhala-berhala yang ada dalam kiri kita yang senantiasa kita agungkan.

Berhala-berhala dari ego keakuan, bahwa diri saya paling benar.
Sayang sekali jika kita sering sekali terperangkap pada ibadah yang sifatnya mahdoh padahal ada juga ibadah gahiru mahdoh.

Dalam relasi antar manusia justru yg ditekankan seharusnya ibadah gahiru mahdoh yakni kemaslahatan bersama.

Bukan sibuk mengurusi ibadah mahdoh orang lain.
Apa itu ibadah makhdoh ? Ibadah khusus yang relasinya vertikal langsung berhubungan dengan penghambaan diri kepada Allah, seperti halnya solat, zakat, puasa.

- yang sifatnya badaniyah (badan)
Solat, zakat, wudhu, puasa, mandi janabah, dzikrullah, membaca Al Quran.
- yang sifatnya maliyah (harta benda) : shodaqoh, infaq, zakat, qurban, kifarat).
- yang sifatnya badaniyah wa maliyah (jiwa raga dan harta) : umroh dan haji, selagi tak dibadal.

Ya kita senantiasa terjebak dari urusan ibadah vertikal org lain, padahal kita sendiri belum benar.
Kita sibuk mempersoalkan haji dan umroh orang lain dari mana tuh uangnya ? Kita sibuk mengurusi shodaqoh si Anu segini si A segini. Bahkan sampai membawa itu semua kedalam ruang rumpi dan mencaci maki.

Kita tak tengok diri sendiri sudah benarkah cara kita berwudhu...
Sudah baikkah hubungan kita dengan Allah secara vertikal, sudah istiqomah kah kita solat lima waktu, sudah istiqomahkah kita membayar zakat dan infaq. Sudah relakah kita beramal jariyah dari sekedar nyinyir shodaqoh orang kecil banget.
Saya tak sempurna dalam ibadah mahdoh, barangkali saudara-saudari sekalian jauh lebih istiqomah. Namun jika kita senantiasa terperangkap dalam ibadah mahdoh (vertikal) orang lain tanpa pernah mengkoreksi diri sendiri apakah sudah benar hubungan saya dengan Allah.
Maka selamanya kita tak akan menjadi orang yang tak baik akhlaqnya kepada sesama dan tak mampu menebar manfaat.

Sebab dalam hadist dikatakan "khoirun naas ahsanuhum khuluqon waanfauhum lin naas"

Sebaik-baik dari kalian kata Rasulullah, adalah yang paling baik...
Budi pekertinya dan bermanfaat bagi orang lain.

Dalam hubungan antar sesama berarti juga harus kita perbaiki. Sebab secara ushuliyyah (pokok) akidah dan syariat adalah hubungan kepada Allah, sedang Akhlak adalah dengan manusia.
You can follow @anisajayanti_.
Tip: mention @twtextapp on a Twitter thread with the keyword โ€œunrollโ€ to get a link to it.

Latest Threads Unrolled:

By continuing to use the site, you are consenting to the use of cookies as explained in our Cookie Policy to improve your experience.