ᴡʜʏ ʏᴏᴜ sʜᴏᴜʟᴅ ʀᴇᴀᴅ ғɪᴄᴛɪᴏɴ
—utas persuasif untuk melebarkan preferensi membaca

Disclaimer: semua narasi dibangun atas pengalaman pribadi dan interpretasi pendapat dari beberapa tokoh.
Fiction is full of bullshit. Atau kalau diterjemahin jadi ‘fiksi penuh dengan tae kebo’ (atau banteng harfiahnya, atau omong kosong lebih tepatnya). No, honey, no. It is not. Nggak percaya? Oke, baca utas ini sampai selesai.
Kata Neil Gaiman dalam The View from the Cheap Seats: Selected Nonfiction, “Everything changes when we read.” Tapi apa tepatnya arti ‘everything’ yg disebut Gaiman? Apa iya bacaan fiksi juga bisa mengubah ‘everything’?
Here’s 4 reasons to answer your curiosity (if you are from non-fiction legion) and 4 reasons for you to stick on it even more (if you are from fiction-tulen-reader).
1. EQ development
Kalau baca non-fiksi ngebikin kamu pintar, maka sebagai protein tambahan, kamu perlu baca fiksi soepaja kamoe bijak. Kalau non-fiksi berdampak pada IQ-mu, maka fiksi jelas mengasah EQ-mu. Begini logikanya:
Kecerdasan emosional salah satu parameternya dilihat kemampuan berempati, yes?
When we read and finish one book, we invested so much of our times to its story. Kita belajar memahami sudut pandang tokoh, ikut berpikir saat mereka menghadapi konflik,
menyerap emosi mereka, dst. Semua usaha yang awalnya cuma diniatkan supaya bisa lebih menikmati cerita, tapi berakhir dengan kita terlalu terikat dengan mereka. Ingat, semakin banyak waktu yg kita habiskan buat sesuatu/seseorang,
semakin besar kita mengizinkan ‘mereka’ untuk memengaruhi kita.

“Trus benefitnya apa?”
Well, kita jadi belajar memahami motivasi seseorang sekalian ngeredam perasaan self-centered. Soalnya setelah kita membaca dan mengikuti jalan hidup tokoh dlm buku,
kita jadi mengerti dan nggak gampang menyalahkan mereka atas setiap langkah yg mereka ambil. Karena kita tahu perihal apa aja yg udh mereka lewati.

Buku fiksi membantu kita melihat secara eksplisit latar belakang yg membentuk pilihan seseorang
and that’s my friends, adl salah satu cara mengerem diri biar nggak punya pribadi yg judgmental. Masih dari Gaiman, he said that, “You learn that everyone else out there is a me, as well. You're being someone else,
and when you return to your own world, you're going to be slightly changed.”

“Tapi ‘mereka’ kan tokoh rekaan? Orang2an yg pasti beda dengan orang beneran?”
Yep, you got it just fine. But hey, listen, Alexandre Dumas Jr. dalam pembukaan
The Lady of the Camellias, mengingatkan kita tentang, “… seseorang tidak mungkin menciptakan tokoh rekaan sebelum ia menghabiskan banyak waktu untuk mempelajari manusia.”
Dalam fiksi kita belajar memahami miniatur manusia dan masyarakat yang ia huni dgn ‘suara-suara’ yg lebih nyaring.
2. Diversify your point of view
Fiksi ngebantu kita ‘mengalami’ budaya lain tanpa Visa dan tanpa biaya (kalau bukunya hasil minjem).
Saya diberi pandangan yg lebih jelas soal keadaan Afghanistan dgn peralihan politiknya yg angin-anginan mulai dari masa monarki, rezim komunis, Mujahidin, hingga kekuasaan para pemuda Pashtun (Taliban), melalui buku2 Khaled Hosseini.
Atau ‘melihat’ persiapan masyarakat di lereng Alpen menghadapi musim dingin melalui Heidi, mengetahui bahwa profesi penggali sumur di Turki 1980-an sangat dihormati dari buku Orhan Pamuk, mengintip sisi gelap Paris dari Pierre Lemaitre,
memahami penghargaan generasi tua di Swedia terhadap Saab dari A Man Called Ove, hingga gambaran komunitas transgender di tengah minoritas Muslim di Shahjahanabad dari Arundhati Roy. Dan masih BANYAK lagi.
“Trus apa spesialnya? Kan berita kyk gitu bisa dibaca di web, koran, or even Wikipedia?”

Yg nggak ada di berita dan ada di buku itu adl (kembali lagi ke poin no.1) pelebaran mindset, pola pikir, pemahaman etc, yg nggak bakal kamu dapet kalau cuma melalui
artikel yg 2-3 menit selesai dibaca. Kamu tetep akan berpikir sebagai orng Indo saat melihat kebiasaan di negara lain. Artinya, seandainya ada hal yg nggak biasa kamu lakuin atau dengar, responmu bakal menyalahkan, menertawakan, atau minimal mencebik.
Seperti pengalaman saya pas baca Gadis Minimarket. Tahu Shiraha? Manusia udel itu lho. Tahu kan? Bulan kemarin saya ikut diskusi novel ini in a nutshell bareng @visarahleiden (oh ya, bulan ini Vis ngadain baca bareng lagi lho dan bakal bahas Filosofi Teras.
Ayo ikutan, jangan malu2 aku tahu kamu pasti mau@_@). Saya sempet lupa buat nggak make peranti lunak orng Indo saat memahami Shiraha dan inangnya yg kok bisa2nya mau digituin T_T.
Dari diskusi bareng Vis—yg kebetulan salah satu pesertanya ada yg
blasteran Jepang-Indo, dia ngejelasin bahwa it’s very common in Japan… ada orng modelan Shiraha yg ‘minta disembunyiin’. Gelagat Shiraha ini mencerminkan fenomena yg disebut hikikomori. Sebenernya yg bikin tambah gedeg itu karena,
si inang, si Keiko, ajaibnya pasrah banget :3. Selidik punya selidik, hal ini juga nggak jauh2 amat dari cara orang Jepang membedakan perlakuan terhadap Laki2 dan Perempuan. Dan Keiko, terlepas dari ‘kedatarannya’, juga dibesarkan dgn
nilai2 yg berbeda dari saya—yg waktu itu lupa untuk memandang cerita itu dgn kacamata mereka. Ketika akhirnya saya sadar, saya nggak lagi heboh mencemooh Keiko dan Shiraha, tapi saya mulai memahami
(meski masih nggak setuju sama tingkah si kunyuk Shiraha), bahwa sikap Keiko kepada Shiraha bisa dikatakan… it’s a cultural thing. I need to see them as Japanese to make myself understand.
3. Improve your rhetorical and literacy skill
Non-fiksi bagaimanapun tidak sefleksibel fiksi. Ada pakem yg harus diikuti. Misalnya bahasa harus baku (meski tidak semua), mesti menjabarkan kebenaran secara eksplisit (meski tidak semua),
dan berisi narasi yg kalau kita nggak fokus satu kalimat aja... bisa2 satu paragraf ikutan hilang (meski tidak semua).
Saya selalu ngebayangin kalau bentuk ‘kebenaran’ yg coba disampein karya fiksi kepada pembaca, mirip seperti proses memanen cranberry.
Simpelnya gitu. Apel ini mirip buku2 non-fiksi. Kebenaran di dalemnya jelas. Ada fakta, sumber rujukan, dan retorika dari penulis yg kemudian sampe di depan pembaca sebagai buah segar yg gampang dimakan, buah yg gampang dibayangin cara perawatan
dan panennya. Sedangkan fiksi ini mirip cranberry. Aneh. Soalnya memanen cranberry mirip sama lahiran water birth @_@. Saat buku non-fiksi nyampein kebenaran dgn ‘kebenaran’, maka kebenaran dlm fiksi berasal dari cerita rekaan, cerita bohongan.
Saat melihat apel, kita langsung ngebayangin buat memakannya. Tapi cranberry… buah ini butuh diolah dulu sebelum bisa dikonsumsi.
Antara dua jenis buah dan dua jenis jenis karya ini, barangkali itu persamaannya.
“Emangnya sejak kapan kebohongan bisa dijadiin media pencari kebenaran? Emang sejak kapan buah2an (atau beri2an lebih spesifiknya) dipanen di dalem air?”

Kita butuh air buat manen cranberry, ibaratkan air ini sebagai kerangka cerita dlm tulisan fiksi.
Petani cranberry yg baik tahu kalau kulaitas air yg bagus jd penentu kelancaran panen. Dilain sisi, penulis yg baik tahu kalau untuk menajamkan analisis pembaca, mereka perlu premis yg apik, mereka nggak bisa hanya menjelaskan 'meja itu somplak'.
Tapi ia harus memikirkan mungkin 'meja yg somplak itu kadang mengingatkanku pada keluarga ini’. kita sebagai pembaca bakal berpikir, “the hell is wrong with this somplak2 thing and the family” :3.
Apa kaitannya?
Pertama, kita jadi tergerak untuk mencari tahu kalau belum tahu apa itu somplak. Kedua, kita mulai merasa bahwa benar, tokoh si anu ini bukan dari happy family dan saat dia melihat sesuatu yg nggak sempurna, dia teringat keadaannya sendiri.
There's certain words that hit you differently after you spent your times reading fiction.

Contoh lebih jelasnya, coba kita lihat novel 1984. Di sana ada yg namanya teleskrin. Orwell nunjukin ke pembaca gambaran gimana seandainya semua hal yg kita lakuin,
selama 24/7 diawasi oleh seseorang, oleh rezim berkuasa. Dan semua tindak tanduk yg nggak sesuai standar penguasa, dicurigai sebagai tindakan makar. Dalam London milik Winston—tokoh utama dlm 1984, semua jenis bacaan, dari buku hingga surat kabar,
dari pamflet hingga selebaran, nggak ada satupun yg lolos dari revisi Partai. Semua rekam jejak sejarah diplintir sedemikian rupa supaya sesuai dgn citra penguasa. Pemalsuan merajalela. Bahkan untuk membatasi perkembangan linguistik,
rezim yg berkuasa membangun devisi khusus. Si Syme contohnya. Dia bekerja sebagai pemangkas kosa kata. Tim yg menyusun bahasa Newspeak. Bahasa yg sesuai dgn (lagi2) standar Partai.

“Trus kebenaran seperti apa yg coba disampaikan Orwell pada pembaca?”
Pertama, ia menggambarkan gimana seandainya pada suatu masa, manusia beneran nggak bisa ngerasain HAM. Dan hal itu tentu ngebikin pembaca mulai sadar dan berpikir tentang keadaannya sendiri, keadaan pemerintah saat ini,
dan diam membandingkan apakah tempat si pembaca ini tumbuh, apakah jaminan hak2nya bener2 terpenuhi apa enggak.
Kedua, keadaan saat sejarah benar2 ditulis oleh ‘pemenang’ dan selama beberapa generasi, rakyat dibawah pemerintahan itu jadi manusia linglung
yg nggak tahu menahu soal kebenaran dari masa lalu. Terdengar familiar, gengs?
Ketiga, membatasi perkembangan linguistik tentu ditujukan buat menyempitkan lingkup pemikiran orang2. Partai kemudian nganggep langkah itu
sebagai solusi untuk mengurangi kekritisan rakyatnya. Mengurangi ancaman dari dalam. Artinya nggak akan ada kritik yg lahir pada pemerintah yg sedang berkuasa. semakin sedikit kosa kata yg kamu punya,
semakin sulit kamu untuk mengungkapkan pendapat, betul apa betul?
Kecakapan literasi adl kecakapan berpikir. Dan kalau kamu mau cukup rendah hati dan teliti untuk mencari kebenaran di mana pun,
termasuk dalam karangan fiksi, kebenaran itu ada dan terlihat. Aneh dan kadang tersembunyi. Persis seperti cranberry yg dipanen dlm air.
4. To train your imagination
Coba lihat ke sekitar, coba bayangkan ada portal yg ngebawa kamu ke suatu tempat. Dengan jin dan misteri oasis, dengan gorgon atau dunia post apokalips yg dipenuhi teknologi aneh. Bisa nggak?
Kedengeran ngaco?
kedengeran kyk orng kebanyakan nyimeng? Betul. Tapi, kamu sadar nggak...nggak semua orng bisa kyk gitu. Nggak semua orng bisa membangun dunia di dalam kepalanya. Merasakan dunia itu benar2 nyata. Benar2 tenggelam sebagai pembaca.
Seolah ada yg ngebopong arwah kita ke suatu tempat cuma melalui media kertas. Cuma melalui tulisan.

"Trus kenapa harus bangga? Nggak ada yg ujug2 ngasih kalpataru kalau bisa mengkhayal yg aneh2. Kenapa harus bangga?"
Memang, Sayang, kamu nggak harus bangga2 amat. Tapi melatih imajinasi membuatmu punya kunci serep saat dunia terasa kyk, "Ya Tuhan, hidup macam apa ini. Aku tidak kuat. Help." Imajinasi yg kuat membantumu melarikan diri dari rutinitas yg menjemukan.
Dan seiring kita bertambah tua, Tuhan tahu seberapa tidak tertahankannya kehidupan yg monoton ini.

Masih kedengeran kurang serius? Baik, mari kita bahas contoh lain.
Kata Einstein, “If you want your children to be intelligent, read them fairy tales. If you want them to be more intelligent, read them more fairy tales.”

Melalui imajinasi, kadang jalan lebar menemukan inovasi bisa diwujudkan.
Nggak perlu inovasi yg menyangkut hajat orng banyak kalau memang nggak mampu, tapi inovasi untuk dirimu sendiri. Untuk hari2mu. Emang inovasi apa sih? Tanya seseorang yg mungkin ngedumel "thread ini soal apa, kok sampe bahas inovasi segala?"
Singkatnya (kata KBBI V) inovasi adl penemuan hal berbeda dari yg sudah ada dan salah satu wujudnya berupa gagasan hingga sudut pandang. Dan memang, kamu memang nggak bisa berinovasi melalui cerita jin, peri, distopia dst, hal2 yg absurd sekali.
Tapi kamu pasti akan menemukan 'sesuatu' kalau kamu bisa adaptif dlm melihat konteks.

Misal, saat saya baca soal cwe dari Distrik 12. Saya tahu bahwa kemarahan adl alat berkomunikasi yg buruk. Saya tahu kemarahan juga wujud protes.
Yg saya nggak tahu itu kalau kita make energi kemarahan yg gede untuk misi pribadi (seperti Katniss Everdeen yg marah pada keadaan dan semua hal dlm hidupnya), akhirnya ia bisa nyampe ke tujuan utamanya–meruntuhkan Panem dan menggulingkan Presiden Snow.
Sebelumnya saya nggak tahu kalau kemarahan bisa diolah. Meski ini emosi negatif, tapi saya belajar dari Katniss kalau nggak apa2 marah, tapi kamu juga harus pintar memakai kemarahan kamu. See?
Jadi saat berimajinasi manusia nggak sekedar bengong doang. Kamu memproses apa yg kamu baca seperti kamu memproses apa yg kamu makan. Dan fiksi membantu kita melakukannya dengan cara yg menyenangkan.
Sekian utas ini saya sampaikan. Terima kasih sudah membaca.

Panjang umur untuk semua readers dan mimpi-mimpi yg lahir atas peran buku :)
You can follow @RainaJamila.
Tip: mention @twtextapp on a Twitter thread with the keyword “unroll” to get a link to it.

Latest Threads Unrolled:

By continuing to use the site, you are consenting to the use of cookies as explained in our Cookie Policy to improve your experience.