Di sini aksesibilitas itu cuma dianggep masalah angka doang ya.

Beberapa kali interview kerja dan gue angkat aksesibilitas sebagai metrik gue dalam mendesain, responnya mayoritas kek gini: emang berapa banyak sih yang kesulitan? Kenapa ga fokus ke masalahnya mayoritas aja?
Keknya ga banyak yang tau kalau autocomplete dan autocorrect itu justru menyasar ke minoritas, tp manfaatnya dirasakan juga sama mayoritas kan?
Keknya masih banyak juga yang nganggep disabilitas itu permanen dan aksesibilitas itu ga perlu karena disabilitas hanyalah minoritas.
Microsoft cakep banget sih dengan metodologi Inclusive Design mereka. Disabilitas bukan sebagai kondisi manusia, tapi justru ini:
Contoh yang cakep lagi tuh disabilitas dibagi ke berbagai bentuk. Permanen, sementara, situasional.
Autocomplete yang menyasar disabilitas permanen, justru bermanfaat juga buat yang sementara, situasional, bahkan juga yang tidak punya disabilitas.
Kalau masih ada desainer yang menganggap disabilitas cuma angka aja, sepertinya doi ga bisa lagi nyebut dirinya desainer deh. Lah pan kunci utama ngedesain aja empati.
Mau baca-baca lebih lanjut?
You can follow @RifatNajmi.
Tip: mention @twtextapp on a Twitter thread with the keyword “unroll” to get a link to it.

Latest Threads Unrolled:

By continuing to use the site, you are consenting to the use of cookies as explained in our Cookie Policy to improve your experience.