INDONESIA BUKAN YAMAN
.
.
.
.
Survei bulan November 2020 yang dilakukan Center for Political Communication Studies (CPCS) menunjukkan publik lebih setuju untuk mempertahankan NKRI.
Hasilnya, 81,5 persen responden siap untuk mempertahankan tegaknya NKRI, 13,3 persen menginginkan Indonesia menjadi negara agama dan sisanya 5,2 persen menyatakan tidak tahu.

Hampir 36 juta (bila asumsi penduduk kita adalah 270 juta) orang yang tak sepakat kita tetap NKRI.
Mereka ingin Indonesia menjadi negara agama.

Anggap saja 50% dari 36 juta itu masih bisa berpikir logis meski agama adalah hal utama dalam hidup mereka. Kemudian 25% nya, kita anggap agak radikal dan sisanya, 25% lagi super radikal yakni apa yang dipikirkan hanya melulu agama.
Kebenaran hanya ada dalam ajaran agama mereka saja. Siapa pun berbeda, pasti salah

Muncul angka 9 juta orang. Apakah itu jumlah yang banyak atau sedikit, relatif.
Sebagai bahan perbandingan, negara Singapore berpenduduk kurang dari 6 juta jiwa. Israel, Uni Emirat Arab, Austria adalah negara-negara dengan jumlah penduduk sekitar 9 jutaan jiwa.
Artinya, angka 9 juta sudah mewakili jumlah penduduk sebuah negara, jumlah yang dimiliki sebagai populasi sebuah negara . Artinya, BANYAK!
Ketika pertanyaannya adalah bagaimana kualitas pribadi mereka yang berjumlah 9 juta orang itu sebagai manusia bila toleransi adalah ukurannya, ada sedikit rasa pesimis bahwa mereka paham apa itu makna hidup berdampingan.
Cara mereka hidup seringkali hanya berpegang pada dogma agama. Apa pun permasalahan yang muncul, jawaban ada di kitab. Cara menyelasaikannya, menunggu petuah mereka yang dianggap guru. Terus dan hanya berputar pada masalah seperti itu.
Mereka juga cenderung menjauh dan tidak peduli pada cara hidup duniawinya. Kemajuan dalam bidang pencapaian olah pikiran atau akal bukan tolok ukur. Kemajuan manusia di bidang ilmu pengetahuan sering dianggap sebagai hal melawan kodrat.
"Apakah mereka tidak tahu bahwa China, Amerika, Rusia, Jepang dan banyak negara maju yang lain sudah berpikir tinggal di planet Mars?"
Ray Kurzweil, saintis komputer dari MIT dan kini bekerja sebagai eksekutif di Google, secara spesifik pernah menyebutkan jangka waktu atas progres teknologi komputer dan kecerdasan buatan (artificial intelligence) akan terjadi.
Menurutnya, pada 2020 komputer sudah akan mampu meniru (mensimulasi) cara kerja otak manusia. Tahun 2029 komputer akan sudah menyamai kecerdasan manusia dan pada tahun 2045 singularitas akan terjadi.

"Singularitas? Apaan sih?"
Pernah dengar teori Big Bang? Saat dunia belum memiliki konsep "ada", belum ada apa pun, masih terdiri dari hanya "ruang" kosong, kemudian dentuman besar yang kita kenal sebagai teori Big Bang terjadi, muncullah apa yang kita sebut ruang, waktu, gravitasi & kemudian hukum fisika.
Teori Big Bang ini adalah teori tentang terbentuknya alam semesta paling bersahabat dgn teori agama. Ada naskah berawal dari tidak ada, menjadi ada. Paling tidak, seperti itulah rumpun agama samawi bercerita tentang penciptaan. Tuhan menciptakan dari yg tidak ada menjadi ada.
Titik waktu pemisah antara "tidak ada apa pun" dan awal ledakan Big Bang yang akhirnya menghasilkan apa itu "ada" adalah terminologi "singularitas" itu dimaknai.

Sementara, singularitas teknologi adalah titik waktu antara menyatunya biologi dan hukum fisika.
Percaya tidak bila sekitar 25 thn lagi dr sekarang manusia akan menanamkan nano chips komputer ke dlm otaknya demi mengkoneksikan ke dlm sistem penyimpanan cloud miliknya & meningkatkan otak manusia menjadi super cerdas? Disini singularitas teknologi terjadi. TIDAK LAMA LAGI.
Akan terjadi banyak perdebatan. Etika, agama dan teori ilmu sosial yang ada akan tampil dalam debat itu.

Sama dengan kereta api berjadwal, dia tak akan menunggu penumpang. Demikian pula teknologi, dia akan terus berjalan meski anda tak sepakat.
Perkembangan teknklogi akan meninggalkan kita yang masih gamang apalagi tak ingin ikut.

Kita yang mengalami hidup di tahun '70 hingga '90-an, dijamin tak pernah sedikit pun menduga bahwa hari ini hampir semua hal dalam hidup kita dapat diselesaikan tanpa kita harus bergerak.
Bayar rekining listrik, air, beli kopi, bakso, hingga meeting dan sekolah hanya memerlukan smartphone.

Anda tak perlu harus punya garasi, beli bensin, hingga pergi ke bengkel hanya karena ingin menikmati mobil layaknya mobil pribadi.
Cukup pencet hp anda, mobil sudah di depan pintu rumah anda.

Kemajuan teknologi komputer luar biasa cepat hingga kita tak lagi mampu membuat perkiraan seperti apa dan akan bagaimana hidup kita di masa depan.
Suka tak suka, setuju tak setuju, kita sedang mengarah pada tempat di mana keterbatasan tubuh biologis kita akan harus dibantu kecerdasan buatan demi meningkatkan keterbatasan itu sendiri.
Sadar tak sadar, kehadiran artificial Intelligence (AI) atau kecerdasan buatan telah mengerubuti kita. Dunia kita sudah dikuasai oleh kecerdasan buatan dan itu tak menunggu persetujuan kita.

"Trus bagaimana dengan mereka yang masih sibuk berkutat pada dalil surga dan neraka?"
Indonesia kaya akan sumber daya alam dan terutama mineral bumi langka yang sangat dibutuhkan bagi lahirnya teknologi super maju. Tanpa mineral langka milik kita itu, mereka kelompok cerdas dan maju tak akan berkutik. Ilmu mereka hanya akan tinggal menjadi teori di atas kertas.
Kita sang pemilik warisan, benar sudah sangat tertinggal. Namun bukan berarti tak akan bisa mengejar. Pintu masuk sudah dibuat dan UU Ombibus law harus kita maknai dengan cara berpikir seperti itu.
Mereka yang sudah pintar butuh mineral warisan bumi kita dan UU mewajibkan mereka ngajarin kita bila mereka berinvestasi di sini, di Indonesia.

Dalam hal bonus demografi bagi bangsa ini, jumlah angka 9 juta itu adalah beban.
Mereka bukan pihak yang dibutuhkan untuk mengisi lapangan pekerjaan yang dibutuhkan investor, bahkan pemerintah sekali pun.

Pemerintah harus putar otak hanya untuk mencari cara agar mereka tetap memiliki penghasilan.
Bayangkan bila jumlah mereka bukan 13.3% tapi 45 atau bahkan 60%, kita sudah menjadi Yaman bukan lagi cerita mustahil. Saling bunuh hanya karena buaian surga.
Belum terlambat, kereta itu masih terlihat. Tak seharusnya kita abai dengan keniscayaan kemana dunia melangkah. Bukan kita abai akan ajaran agama, debat dogma demi rebutan benar harus kita kurangi.
.
.
.
@andita_4
You can follow @.
Tip: mention @twtextapp on a Twitter thread with the keyword “unroll” to get a link to it.

Latest Threads Unrolled:

By continuing to use the site, you are consenting to the use of cookies as explained in our Cookie Policy to improve your experience.