Lagi rame bahas mepet miskin. Here's some story of mine.

Me in a nutshell: lulusan SMA Kabupaten yang bisa kerja hingga level nyaris manager di umur 27 di perusahaan sawit International yang rekruit staffnya pakai sistem MT di Universitas gede di INA. https://twitter.com/mrs_enci/status/1335409254870630402
Bokap ga sekolah, nyokap cabut pas kelas 5 SD gara2 harus kerja serabutan buat menghidupi 6 orang adiknya. Tinggal di kota kabupaten kecil di Kalimantan. Bokap kerja jadi tukang minyak tanah keliling pakai sepeda, kadang jalan kaki pakai gerobak. Nyokap di rumah jadi IRT.
SD kelas 4, kerusuhan 2001, tambah miskin karena rumah kecil kami harus dijual. Pindah ke kontrakan petak 5x5m diisi 5 orang. Tidur di ruang tamu/dapur/ruang keluarga. Kutuan karena di balik dinding papan yang renggang2 itu langsung kandang ayam yang punya kontrakan.
SD di yayasan Muhammadiyah karena gratis. SMP maksa masuk SMP Negeri yang bagus pakai beasiswa miskin. SMA masuk SMA favorit, masih pakai beasiswa miskin. Aku inget cuma punya 1 sepatu hitam itupun lungsuran dari Kakak. Seragam ga pernah ganti baru mau juara 2 umum sekalipun.
Di rumah, bokap ga aware sama pendidikan, lulus SMP mau diudahin sekolahnya karena warung kelontong tetangga perlu karyawati. Nyokap yang nawar paling engga lulus SMA biar bisa jadi pramuniaga toko. Tep gada bagus2nya 😅
In a bad day, di tengah kontrakan 5x5m itu kami berlima akan ngumpul dan merebus satu bungkus Sarimi Rasa Baso, kuahnya dibanyakin dikasih garam sama nyokap dan dimakan bareng pakai nasi. Lebih sedih lagi kalau sudah banjir. Kebayang isi kandang ayam naik sampai ke dalam rumah?
In a good day, which is Idul Adha, my mom will cook the tastiest gulai daging in my life. Tapi ga bisa dinikmati lama, ga punya kulkas buat nyimpan dagingnya. Ga punya TV, ga punya sepeda motor. Cuma sepeda dan gerobak minyak tanah bokap.
Hampir dua tahun hidup di kontrakan, akhirnya bokap dikasih rumah dan tanah milik tetangga kami dulu, teman akrab bokap orang Madura yang gabisa balik ke Sampit atau mengklaim apa yang semula miliknya karena Perda no. 5 tahun 2002 bedebah itu.
Rumahnya hancur lebur. Kerusuhan bikin orang kreatif dalam menjarah, kusen jendela, plafon, ubin dan genteng dibongkar. Praktis rumahnya jauh dari layak huni. But at least, aku akhirnya punya kamar sendiri 😌
Semua jendela ditutup pakai triplek, atap bolong ditambal plastik, bertahun2 pakai sendal dalam rumah karena practically lantainya tanah. Life doesn't get better but at least we didn't have to eat Sarimi Baso sebungkus bagi lima on daily basis. Geez I still can taste it now.
Karena gabut, dari SMP kerjaanku baca buku. Tiap hari di sekolah jam istirahat atau di kelas baca buku di perpus yang isinya kamus, ensiklopedia dan sastra lama. Pulang sekolah minjem buku di perpus daerah. Kalau punya duit nyewa komik di rental. Gitu aja berulang-ulang.
Pinter? Ga juga 😌 selalu masuk ranking 5 ya karena sekolah di daerah persaingannya ya santuy. Aku ga nyadar, baca buku malah bikin aku makin banyak nanya dan gatau nanya siapa (belom ada internet) akhirnya ya baca buku lagi buat menjawab pertanyaan dengan pertanyaan2 baru :))
Lulus SMA, bisa ditebak, bokap nyokap nyuruh jadi pramuniaga toko. Nenek yang waktu itu jadi pembantu di rumah owner minimarket yang menyalurkan. Aku, umur 16 waktu itu, dengan sombongnya bilang

"Ga mau. Aku mau jadi wartawan aja"

Spontan karena abis liat lowongannya di koran.
Padahal pusing sendiri 😂 requirementnya waktu itu S1, min usia 21 tahun, punya SIM C dll. KTP aja ga punya masi 16 wkwk. Itu bulan Nopember, sambil nunggu ultah 17 di Januari biar bisa bikin KTP dan melamar di koran, aku freelance siaran radio. Dari 2 SMA udah rutin siaran.
Ga bikin SIMC karena.. Sepeda motor aja ga punya 😅 Akhirnya ultah, lamar di koran, diterima dan jalan "karir" dimulai dari situ.
"Wah kamu beruntung ya"
Kepalamu. Aku paling gedek kalau dipepatkan dalam kata beruntung.
Sebab untuk mengkompensasi what's lacking cause of the inevitable situation, aku menghabiskan ratusan malam numpang belajar komputer di radio. Belajar photosop, belajar ms. Office dll.
Sampai akhirnya nulis blog isinya essai dan pertanyaan2 hasil dari baca buku sampai gila dari SMP. Yang kemudian dijadikan modal untuk melamar jadi wartawan.

"Beruntung" saja rasanya tidak cukup untuk bikin PimRed menerimaku meski aku tidak mencentang satupun requirement mereka.
Tenang, masih miskin :))
Tapi sudah bisa nyicil komputer
Nyicil sepeda motor
Beli kamera pocket second harga 300 ribu
Beliin nyokap kulkas
Beliin semen hingga akhirnya ga perlu pakai sendal di dalam rumah
Ke Jakarta, masih miskin tapi kerja di lingkungan kerja paling keren sedunia. Ketemu orang-orang hebat, berdiskusi filsafat langsung dengan guru besar UI, diskusi langitan one o one dengan CakNun. Gilalah periode itu. I was 19-20 during those time.
Nyokap masuk rumah sakit untuk pertama kalinya. High blood pressure kelamaan makan nasi sama garem dan kuah Sarimi Rasa Baso. I'm going back to Sampit, turns out things that I've bought has been sold for her medical treatment.

We go back to square one. Kecuali lantai sudah semen
2014 nyokap meninggal, kidney failure. Keratinin sudah tinggi, harus dialisis, harus dirujuk ke RS provinsi and we failed to gather the money for ambulance ride.

Iya, she died cause we didn't have 2,5 juta for the ambulance ride. Padahal treatmentnya ditanggung Jamkesmas.
Two months after her funeral, I abandoned all kind of ideologies and "ideal career path" that I've build in my head. Aku melamar ke perusahaan sawit. Gamau jadi karyawan, I aimed the Presiden Director by sending him an email directly, in English.
Di kota kabupaten, on site sawit, rupanya my skill set lumayan langka. I was hired directly by the Presdir. As a staff, and promoted to be assistant two years later.

Yang aku ga liat, sampai 6 tahun kemudian aku masih marah sama kematian nyokap.

I was angry with our poverty.
So.. After making a peace with that, I quit and going back to what I left 6 years ago. Aku sudah di titik umur 28 bisa punya rumah dan mobil, pergi ke luar negeri setahun sekali, makan di restoran paling mahal di Jakarta dan I wasn't "happy"

I just feeding the anger. The grudge.
Sekarang? I'll be 29 in a matter of weeks, somewhere in Bali, selling my harta benda duniawi and living the life the way I wanted to.

Mepet miskin has taught me that its also affecting the psychological side. Only heaven knows how hard I was to myself for this past 10 years.
Living in a kos2an, riding rented motorcycle, not even having kompor but I never felt this peaceful. I could live anywhere I want and work on anything I like.

At least I knew I won't killed my father cause his insurance and BPJS are on top of its class 😌
Di sini, aku banyak ketemu 'refugee' dari their past life, past self. Dosen S2 ITB yang bisa jadi orang paling kaya sedunia if he wants to, tapi memilih buat chasing his S3 thesis as perfect as he wanted dan cerita "Iya nih, pusing duit numpang lewat doang buat bayar kuliah"
Or a 65 years old movie director who could've having a settle life on a warm house yet she choose to roam the earth and dancing with her hand holding a bottle of beer, smiling and told me "I'm going to Japan next month, making some clips"
They made me remember of 19 years old me, crying in hunger cause I don't have money to buy food for days. I silently whisper to myself back then.

"Hidup adalah soal memilih sebuah pilihan, dan babak belur untuk memperjuangkan pilihan itu, sampai nanti terpapar pilihan baru"
Aku ga pacaran sampai umur 24 :') yha gimana mau pacaran at that time aku kerja 4 pekerjaan sekaligus

Wartawan
Malemnya siaran radio
Joki makalah dan skripsi
Kru event organiser

Rangorang sweet seventeen niup lilin sama pacar aku menghadiahi diri sendiri dengan bikin KTP :')
Sekarang aku mau pacaran dan bersenang-senang wkwk.
You can follow @nanirigby.
Tip: mention @twtextapp on a Twitter thread with the keyword “unroll” to get a link to it.

Latest Threads Unrolled:

By continuing to use the site, you are consenting to the use of cookies as explained in our Cookie Policy to improve your experience.