Romantisasi mental illness memang ada. Tp ya ga tiap2 orang mengekspresikan mental illness nya dibilang romantisasi.

Ada terapi mental health yg namanya terapi psikodrama, terapi seni, terapi musik, terapi bermain, dll?
Terapi-terapi tersebut bertujuan reframing kondisi orangnya dalam ekspresi-ekspresi simbolik. Tujuan buat venting out dengan cara yang socially acceptable.
Apa yu yu orang lebih suka kalau orang dgn mental illness berekspresi agresif, destruktif, atau menyakiti diri mereka sendiri?
Bagaimana dengan romantisasi yg sesungguhnya?

Bbrp ciri:
1. Penyangkalan ada gangguan mental.
2. Menjustifikasi self harm dan agresi sbg “beauty”.
3. Dilakukan sambil menolak upaya healing yg diperlukan.
Terusin dikit. Sa anggap ini bagian dari psikoedukasi.

Kondisi stress atau distress membutuhkan venting out atau katarsis, yaitu menumpahkan uneg2/beban emosi. Yang terbaik setelah psikoterapi adalah curhat ke orang dekat yg bs dipercaya.
But these days, kadang susah nyari yg bs dipercaya utk merahasiakan atau menerima kita apa adanya tnp penghakiman. Kalau ada, berharga banget.

Kita sendiri jg belum tentu mudah menyampaikan beban kita dengan kata-kata.
Banyak orang yang mampet ketika konseling. Susah crita. Bingung melukiskan yg dirasakan dengan kata-kata.
Untuk itulah format terapi yg menggunakan ekspresi simbolik dihadirkan. To let go off your feelings.
Jadi kalau ada orang membuat ekspresi artistik (yg tentu saja subyektif) di media sosial, boleh jadi itu cara dia katarsis. Konten ekspresinya adalah kedaulatan dia, selama ga berkembang jd hate speech.
Sa menyarankan, sungguh2 menyarankan, pd kita yang mudah terusik dengan ekspresi orang lain (yg ga membahayakan siapa2) untuk melihat ke dalam diri sendiri. Jangan-jangan kita juga sedang dalam kondisi penuh beban emosional sehingga reaktif pada stimulus dari luar.
Get help if that’s the case. Or at least do some self help exercises to reduce our own stress.
Ada juga kondisi lain yg bisa mendorong pada reaktivitas atau gampang terusik.

Some people are indeed HSP or highly sensitive persons since birth. No one’s fault. It is an innate trait.

Beberapa studi mengkaitkannya dgn kondisi sistem syaraf yg berbeda dr non HSP.
Apa itu HSP?
Yu juga bisa coba self-test ini utk melihat SECARA UMUM apakah yu ada tendensi HSP.
Lalu bgmn sih stress bs menyebabkan kita lbh gampang terusik?

Salah satu teori nya adalah ego depletion theory.

Stress seringkali membuat kita harus mengendalikan diri agar tetap fungsional.
Udh mau muntah2, tp hrs tetep fokus sm kerjaan, misalnya. Capek man.

Akhirnya ego, yang jadi pengendali antara dorongan dari dalam diri (impuls) dgn realitas, lelah dan terkikis.
Some people experience it as “loosing myself”.

Fact is, yes the ego or self is decomposing. At least temporarily.

Butuh recomposing.
Ego tinggal 50%, energinya jg dikit, gmn mengendalikan dorongan2 dalam diri?

Ya atasi stressnya, pull yourself together lagi.
Stimulus dr luar pun akan ditanggapi lebih reaktif. Saringannya bocor, lolos deh.
Tau bedanya reaktif dan responsif?

Responsif ini ada proses mikir, pertimbangan baik buruk, untung rugi dll. Jd ada kata responsible, atau btgjwb. Pilihan yg dibuat dgn mikirin konsekuensi.

Reaktif ya kayak tembok dipukul aja.

Tar kalau disuruh tgjwb nyesel.
You can follow @andrywaseso.
Tip: mention @twtextapp on a Twitter thread with the keyword “unroll” to get a link to it.

Latest Threads Unrolled:

By continuing to use the site, you are consenting to the use of cookies as explained in our Cookie Policy to improve your experience.