Jadi begini:
Menikah itu memang membuka pintu rejeki, dengan catatan kalau tujuan menikahnya benar, bukan dilandasi nafsu syahwat semata atau nafsu ingin cepat kaya. Karena menikah memang membutuhkan ekonomi, tapi menikah bukanlah transaksi jual beli.
Menikah itu memang membuka pintu rejeki, dengan catatan kalau tujuan menikahnya benar, bukan dilandasi nafsu syahwat semata atau nafsu ingin cepat kaya. Karena menikah memang membutuhkan ekonomi, tapi menikah bukanlah transaksi jual beli.
Rejeki dalam pernikahan itu datangnya dari ketenangan bathin yang dipenuhi rasa syukur terhadap berapa pun rejeki yang didapat. Karena kalau hanya sekedar dipenuhi nafsu lantas berpikir menikah lalu dua bulan kemudian langsung punya rumah besar dan mobil, ya bubar!
Karena kalau tidak ada ketenangan dalam berumah tangga, bagaimana bisa tenang dalam mencari rejeki. Jika saat merintis berumah tangga pendapatan suami masih pas2an lalu terus-menerus diomelin dan diteror mah, ya suami juga pusing dong, boro-boro fokus bekerja dan mencari rejeki,
yang terjadi malah mungkin bisa jadi alasan untuk bercerai. Tapi sebaliknya; jika pendapatan suami masih pas-pasan sang istri mencukup-cukupkannya, disyukuri dan tidak banyak mengeluh tentu suami pun akan bersemangat untuk berusaha mencari rejeki yang lebih besar.
Dan memang umumnya pada saat awal menikah dan rejeki masih pas-pasan adalah masa-masa yang sangat kritis dalam menguji sebuah perniķahan.
Oh iya, bagi yang belum tahu; saya menikah tahun 2004 pada saat menganggur dan kerja serabutan. Pendapatan saya saat itu hanya 300 ribu sampai 700 ribu per bulan, dan baru punya pekerjaan tetap tahun 2007 saat anak berusia tiga tahun.
Tapi ya itu, istri saya tidak banyak mengeluh, uang berapa pun dia terima, penggunaan uang 5000 rupiah saja dia laporkan walau saya tidak meminta. Akhirnya ya itu, saya pun berpikir keras untuk membahagiakannya.
Dan saat ini kehidupan kami baik-baik saja. Kalaupun pernah ada keributan kecil selama berumah tangga; paling cuma soal kalau makan ndak ada kerupuk, atau kalau merebus Indomie goreng ndak dikasih air.
Saat belum punya rumah atau mobil mah anteng2 saja di rumah kontrakan yang bocor dan banyak tikusnya, walaupun toh akhirnya ya punya juga rumah dan mobil yang layak. Tapi ya itu ndak dadakan.
Semua berproses selama kurang lebih 16 tahun lamanya. Tidak simsalabim begitu menikah langsung mapan secara ekonomi karena ujug-ujug dapat warisan.
Ada yang bertanya juga, "tapi pak, kan ada tuh lelaki yang pas menikah sudah mapan, sudah bekerja dan punya rumah juga? Kan bisa tuh!"
Iya, tapi berapa persen lelaki yang begitu? Lantas apakah itu merupakan jaminan rumah tangga harmonis juga?
Iya, tapi berapa persen lelaki yang begitu? Lantas apakah itu merupakan jaminan rumah tangga harmonis juga?
Jawabannya "tidak juga," karena saya punya kenalan wanita yang menikah dengan seorang lelaki yang paling kaya di kampung kami, tidak sampai setahun mereka bercerai. Itu fakta bahwa sudah makmur pun ternyata tidak lantas aman dari perceraian.
Hal tersebut bisa terjadi kalau kedua belah pihak tidak paham peran masing-masing dan tidak saling mendukung. Apalagi kalau menikahnya karena motivasi harta. Bisa jadi malah dijadikan alasan bagi yang lebih kaya untuk mendominasi.
Bukankah akan lebih bisa saling menghargai jika kemakmuran itu karena usaha bersama yang dibangun sedari nol dari awal, alias saat sudah berumah tangga tidak ada yang "merasa lebih kuasa secara ekonomi dibandingkan dengan yang lain", dan jadi alasan pula untuk bercerai.
Sebagai penutup:
"Menikah membuka pintu rejeki, namun keributan dalam rumah tangga menutup pintu rejeki dengan cara membanting sang pintu"
"Menikah membuka pintu rejeki, namun keributan dalam rumah tangga menutup pintu rejeki dengan cara membanting sang pintu"