Sejak tertarik sama konsep no buy, conscious consumption, dan minimalism...
Satu pelajaran yang bisa aku dapatkan, adalah bagaimana kita harus punya relationship yang baik dengan yang namanya konsumsi dan kepemilikan barang.
Satu pelajaran yang bisa aku dapatkan, adalah bagaimana kita harus punya relationship yang baik dengan yang namanya konsumsi dan kepemilikan barang.
Masalahnya, sekarang kita dibombardir dengan narasi yang mengatasnamakan "self care".
Skin care itu self care, lalu retail therapy itu self care.
Siapa sih, yang nggak mau care sama diri sendiri?
The concept is irresistable!
Skin care itu self care, lalu retail therapy itu self care.
Siapa sih, yang nggak mau care sama diri sendiri?
The concept is irresistable!
Sayangnya kita (termasuk aku) suka salah fokus antara cara dan tujuannya.
Kadang aku mindlessly shopping, sambil mikir kalo ini justifiable karena tergolong self care.
Atau aku ngerasa boleh belanja banyak, supaya self care makin gaspol.
Kadang aku mindlessly shopping, sambil mikir kalo ini justifiable karena tergolong self care.
Atau aku ngerasa boleh belanja banyak, supaya self care makin gaspol.
Jadi solusinya minimalism? Declutter semua? Jangan belanja, gak boleh nyetok?
Menurutku gak sesederhana itu karena kebutuhan orang beda-beda.
Kalo mengeneralisasi "retail therapy = self care" itu keliru, maka buatku mengeneralisasi bahwa "minimalism adalah solusi" juga gak pas.
Menurutku gak sesederhana itu karena kebutuhan orang beda-beda.
Kalo mengeneralisasi "retail therapy = self care" itu keliru, maka buatku mengeneralisasi bahwa "minimalism adalah solusi" juga gak pas.
So, instead of taking minimalism as the answer to fight overconsumption, I started focusing on the underlying factors.
Kenapa sih, mereka memilih jalan minimalism sebagai solusi? Mana yang bisa relate ke kita?
Kenapa sih, mereka memilih jalan minimalism sebagai solusi? Mana yang bisa relate ke kita?
Jawabannya pasti macem-macem.
Hannah Louise Poston, bilang dia kecanduan dari thrill-nya shopping. The excitement, the adrenaline pas beli barang.
Fumio Sasaki bilang dia banyak beli barang untuk define himself (bibliophile, audiophile, etc).
Hannah Louise Poston, bilang dia kecanduan dari thrill-nya shopping. The excitement, the adrenaline pas beli barang.
Fumio Sasaki bilang dia banyak beli barang untuk define himself (bibliophile, audiophile, etc).
Kalo baca narasumber Jepang, menurutku perlu kita ingat juga kalo di sana "space is luxury" dan ngga semua orang punya tempat untuk nyimpen barang banyak. Otomatis, makin cepat berasa "cluttered".
Kelemahanku, "what if" dan "someday".
What "I think" I need, versus what I actually need.
Duh, gimana kalo tau-tau butuh?
Someday pasti bakal kepake...
Otak ku sneaky, udah bukan wants vs needs lagi. Tapi aku bisa subconsciously convince myself bahwa aku BAKAL BUTUH sesuatu.
What "I think" I need, versus what I actually need.
Duh, gimana kalo tau-tau butuh?
Someday pasti bakal kepake...
Otak ku sneaky, udah bukan wants vs needs lagi. Tapi aku bisa subconsciously convince myself bahwa aku BAKAL BUTUH sesuatu.
Padahal jaminan juga aku ga inget 50% dari barang-barang yang aku punya, dan skenario what if nya nggak kejadian.
In my case, minimalism ngingetin aku untuk punya relationship yang lebih baik dengan yang namanya belanja dan kepemilikan barang.
Define your own minimalism!
In my case, minimalism ngingetin aku untuk punya relationship yang lebih baik dengan yang namanya belanja dan kepemilikan barang.
Define your own minimalism!