Pernahkah kamu capek karena kamu tidak bisa menjadi dirimu sendiri? Apalagi ketika kamu ingin menjadi berhasil dengan standar/ekspektasi orang tua/masyarakat?

Hidup seharusnya ga kayak itu!

#LogosReview Ep. 1: Brave, Not Perfect: Fear Less, Fail More, Live Bolder

- a thread!
Erica, anak berumur 16 tahun, merupakan primadona di kelasnya dan di masyarakat. Sebagai anak dari 2 profesor, ia menjadi wakil ketua kelas yang mempunyai nilai cemerlang, hati yang lembut, dan murah senyum.

Semua orang menyanjungnya, dari guru, teman, orang tua, dan lainnya.
Tetapi di balik semua itu, Erica berjuang mati-matian setiap malam untuk belajar demi menggembirakan orang di sekitarnya. Meski ia ingin bergabung menjadi tim cheerleader di sekolah, Erica mengurungkan niat.
Temannya mengatakan bahwa menjadi cheerleader itu sesuatu yang sulit dan akan memakan banyak waktu, "kalau lu gamau jadi orang bodoh, mending gausah jadi cheerleader".

Erica pun bermain aman dan berusaha menghindari kegagalan, apapun itu.
Erica dan banyak anak di dunia ini terkurung dalam perfeksionisme yang dibangun dari metode parenting, pop culture, dan media sekarang.

Sejak lahir, anak-anak (terutama perempuan) disuguhkan ribuan kata seperti "jadi anak baik ya", "jadi anak penurut ya", dan lain sebagainya.
Sejak kecil juga, anak perempuan disuguhkan pakaian dengan warna terkoordinir dan dibisikkan seberapa cantik diri mereka. Anak dipuji karena bersikap sopan, tetapi dimarah-marahi ketika berantakan dan bawel.
Anak laki-laki juga disuruh untuk berani kotor, berani jatuh, dan tentunya harus menjadi "man up". Mereka akan dimarahi jika menangis, melankoli, dan banyak hal lainnya yang disebut oleh orang tua sebagai "sifat perempuan".
Hal ini terus terjadi hingga anak memasuki fase remaja dan setelahnya. Tak hanya karena orang tua, media dan pop culture juga mempengaruhi ekspektasi gender.

Contohnya ialah anak perempuan yang disuguhkan boneka barbie dengan kulit putihnya, rambut panjang, mata besar.
Indoktrinasi juga terjadi pada ratu-ratu dalam film, suatu riset menyatakan bahwa 96% anak perempuan tergaet dengan budaya ratu ini. Budaya ini menggelorakan stereotype anak untuk menghindari yang kotor, submisif dan pasif, bermain dengan baik dan tidak berisik.
Bagaimana dengan karakter pria dalam film? Ya, tentu saja garang karena membunuh beruang, menyelamatkan ratu yang hampir selalu diperlihatkan bahwa fisiknya lemah, dan sebagainya.

Inilah konstruksi pop culture, dengan pesan yang tersebar dimana-mana, dari fashion hingga film.
Buku ini kemudian menjelaskan mitos-mitos di balik "perfection", seperti "kalau semuanya berjalan lancar dan sempurna, gua akan bahagia", atau "kegagalan bukanlah sebuh opsi, begitu pula dengan risiko".
"In a world full of princesses, dare to be a hot dog!"

Beberapa waktu lalu, seorang anak berumur 5 tahun bernama Ainsley dari North Carolina menjadi viral. Ia menjadi hot dog ketika kelas dansanya memilih tema "Princess Week"!
Aksi seperti ini yang berlawanan dengan norma sosial membutuhkan keberanian: mengambil sisi yang tidak populer.

Ketika kita memikirkan kembali, keberanian seperti inilah yang membuat kita melakukan banyak hal dalam hidup yang berkesan.
"Bravery sets us free, gives us chances to claim our voice, to see our real selves."

Buku ini selanjutnya membahas banyak hal tentang keberanian dan kegagalan. Mimin akan review satu bagian lagi yang menarik ya!

Bagaimana membangun bravery mindset?
1. Belajar untuk merawat diri sendiri

Prioritaskan kesehatanmu, jangan melebihi batas demi memenuhi ekspektasi banyak orang. Lakukanlah me time dan menjaga pola tidur yang cukup. Jaga diri, jaga diri, jaga diri.
2. Kekuatan "belum"

Jauh lebih baik mengatakan "gua belum cukup berani" dibanding "gua ga berani". Mental movement seperti ini membuatmu terus memperbaiki diri dan mempunyai keberanian untuk lebih bebas berekspresi.
3. Drama vs Bijak

Lain kali ketika kamu melakukan sesuatu, berhentilah sejenak. Tanyakan pada diri kamu sendiri, apakah hal yang akan kamu lakukan berasal dari kebijaksanaan atau dari drama.
4. Ikuti saran kamu sendiri

Ketika kamu menghadapi tantangan/kesempatan yang "menakutkan", tanyalah dirimu sendiri nasihat apa yang akan kamu berikan pada orang lain yang ada di situasi itu. Rata-rata, orang membuat keputusan lebih baik untuk orang lain dibanding ke diri sendiri
5. Tetapkan daily bravery challenge

Cara terbaik untuk mengubah cara kamu berpikir dan percaya ialah dengan mengubah apa yang kamu lakukan, mengubah dari luar ke dalam. Sulit untuk mempercayai sesuatu tanpa memiliki pengalaman.
Untuk menutup review ini, mimin kasih salah satu quotes yang mimin suka.

“There’s no set path to “becoming brave” other than taking actions over, and over again that reinforce bravery rather than fear.” - Reshma Saujani (Brave, Not Perfect)

Konten oleh @NathPribady
Penulis buku ini, Reshma Saujani, merupakan politisi yang lulus dari University of Illinois, Harvard Kennedy School, dan Yale Law School. Ia juga merupakan founder dari organisasi teknologi non-profit "Girls Who Code".
Dapatkan informasi webinar, kelas, podcast, artikel terbaru (dan tentunya gratis) dari Logos di channel Telegram http://t.me/logos_id 

Kami juga membuka donasi yang digunakan untuk pengembangan edukasi gratis Logos di Kitabisa http://kitabisa.com/logosid . Terima kasih!
You can follow @logos_id.
Tip: mention @twtextapp on a Twitter thread with the keyword “unroll” to get a link to it.

Latest Threads Unrolled:

By continuing to use the site, you are consenting to the use of cookies as explained in our Cookie Policy to improve your experience.