Sebagai penghuni baru di rumah @hariankompas , sejak 2014, saya tentu minim pengalaman. Namun, saya sudah jauh-jauh hari mengenal koran yang berusia lebih dari setengah abad ini, termasuk pendirinya Pak #JakobOetama dan Pak #PKOjong
Sebuat Utas
Sebuat Utas
Perkenalan itu dimulai dari koran kompas yang sudah tersaji di rumah setiap pagi. Orangtua saya berlangganan sejak 1980an, saat keduanya masih kuliah dan belum menikah. Saat itu, rubrik olahraga menjadi pilihan utama. Belakangan, saat kuliah, saya gemar membaca opini dan inter
Bahkan, di himpunan kami, @hariankompas dikliping sebagai bahan skripsi mahasiswa. Ibu juga pernah berkisah, ayah kalau mau bertemu mertua harus baca kompas dulu. Alasannya, supaya ada bahan obrolan dan ayah bisa menjawab saat ditanya isu yang lagi happening
Ayah juga pernah menulis di rubrik opini @hariankompas . Klipingnya masih ada di map hingga kini. Saya juga berkali-kali mengirim tulisan, tetapi tidak tembus. Hingga 2014, Tuhan memberikan kesempatan saya belajar di kompas.
Isu usang, seperti kompas hanya untuk golongan tertentu ternyata tidak tepat. Sebagai orang dari Bugis Makassar, saya diterima dengan baik oleh penghuni rumah Kompas yang juga berasal dari berbagai latar belakang. Di kantor Jl Palmerah Selatan, hampir tiap lantai ada musalahnya
Musalahnya dingin, pakai AC, dan karpetnya harum. Jauh lebih adem dibandingkan musalah di sebuah mal besar di Cirebon, yang dekat parkiran. Di kantor Kompas, kita tidak perlu turun ke lantai dasar untuk mencari tempat salah. Menemukan musalah semudah mencari kamar kecil.
Setiap bulan Ramadhan, ada buka puasa bersama di kantor. Biasanya, bos dan editor yang memfasilitasi. Padahal, tidak semuanya beragama Islam. Bos, wartawan, hingga office boy mengantre bersama menanti buka puasa. Semua dipanggil Mas, Mbak, Kang, Abang, atau lainnya.
Waktu itu, kami diminta memanggil Mas/Mbak meskipun yang bersangkutan senior dan seperti orangtua saya. Harapannya, supaya lebih akrab. Hanya satu yang dipanggil Pak, yakni Pak Jakob Oetama.
Saya sendiri pernah dua kali bertemu Pak JO, Jakob Oetama, di kantor. Kalau tidak salah tiga atau dua tahun lalu. Beliau selalu datang sebelum pukul 09.00. Meskipun dipapah, beliau tetap ke kantor, tepatnya ruangannya di Lantai 6. Beliau menyapa dengan senyum.
Mungkin sangat sedikit pengetahuan saya tentang Pak JO, selain dari buku dan cerita para senior. Namun, beliau mewariskan legacy yang menghidupkan kami. Nilai menghargai dan menghormati siapa saja meskipu berbeda latar belakang, menyayangi karyawan, dan lainnya.
Itu sebabnya, meskipun beliau kini mengakhiri persinggahannya di dunia, warisannya selalu dikenang dan diharapkan tumbuh subur. Selamat jalan, Pak JO....terima kasih banyak