Read on Twitter
Saya sedang senang baca, cari tahu, tentang orang Tionghoa di Indonesia. Entah sejarahnya, tokohnya, atau apapun lah. Kebetulan, adik sy sedang menulis tentang sejarah UGM Press, dan, krn tahu sy sedang kulik begituan, ia cerita ada ahli filsafat orang Tionghoa: The Liang Gie.
Saya langsung cari tahu namanya di mesin pencari Google, ketemu! Sayang, kabarnya beliau sudah meninggal tahun 2007 kemarin. Sekaligus saya coba cari tahu buku-buku tulisannya, ternyata masih ada cukup banyak yang dijual scr daring. Nah, alhasil, saya beli ketiga buku di atas.
Saya belum baca serius sih, hanya sekelibat, meski, memang, tulisannya menggunakan bahasa, dan susunannya, khas zamannya--yang, mungkin, sedikit nggak cocok sama saya yang baru baca tahun 2000an ini. Oh ya, beliau menulis sekitar 56 buku loh, 56! Angka yang nggak sedikit.
Lagi pula, buku ini saya beli memang, terutama, sebagai memento saja sih: sedari dulu ada Tionghoa yang ternyata penggiat dan ahli filsafat loh! Memangnya penting banget ya? Apa nggak terlalu berpusat pada etnis sendiri?
Bukan sih, tetapi sejauh sepemahaman saya kisah orang Tionghoa di sini memang cenderung "disembunyikan"--khususnya krn dulu ada usaha asimilasi paksa. Saya sering merasa bahwa akar kebudayaan saya sebagai Tionghoa cukup tercerabut, sehingga ngga tahu apa-apa tentang itu semua.
Kalau ada sesuatu yang disembunyikan, semakin bikin penasaran kan? Nah, itulah saya. Saya sendiri baru akhir-akhir semakin penasaran soal orang-orang Tionghoa di Indonesia! 
Tapi, bukan maksud saya pak Gie disembunyikan loh, hanya, karena "kekepoan" saya yang akhir-akhir berlebih ini, jadi semakin semangat saat tahu kalau bahkan sedari dahulu ada penggiat filsafat yang adalah orang Tionghoa--meski, beliau adalah PNS hahaha. 
Tambahan, pak Gie ini, kata adik saya, suka naik sepeda kalau berkunjung ke UGM Press hahahaha. Nggak penting sih, tapi menarik aja.
Kalau suatu saat nulis buku, gua juga mau tulis nama Khe gua: Tjoa Tjun Ming. 
