Comparison is a thief of joy, itu jelas. Mobil, rumah, barang bermerek contohnya. Kenapa, ya karena lu ga tau keseluruhan cerita. Lu hanya liat yg keliatan. Ga tau ceritanya, apa dia harus utang atau harta yg keliatan cuma 1% dari net wealth dia.
Tapi lu iri, dalam hal barang mewah, atau melecehkan (dalam hal barang murah), ya sama aja: membandingkan. Semua orang punya cerita sendiri, punya prioritas, punya trade-off. Ga usah membandingkan dgn orang lain, tapi progress diri sendiri.
Lu mau pake agya, ya kan lu yg bayar, yg nyicil. Bukan tetangga lu, bukan staf lu. Kenapa malu. Lu mau pake E class, lu yg nyicil, lu yg servis, lu yg keder kalo pulang di jalan deket rumah banyak motor parkir warga jajan cireng.
Malu itu ama keluarga, ama bini, ama anak kalo gara2 lu pengen pake E class, anak harus sharing HP ama adeknya kalo sekolah online di masa pagebluk. Atau elo harus "nyamar" pake hoodie saat ngantri SPBU tengah malam karena premium mau naek, padahal elo pake seri 5.
Sama kayak para "investor" yg pamer screen shoot untung puluhan % (tapi ga diliatin nominalnya), untung ratusan juta, tapi historisnya nett ga diliatin. Atau pamer punya C class baru tapi net wealth minus. Beli bensin tiap hari aja pusing.
Khawatir anak sakit karena takut biaya dokter. Kasih saran istri ga usah bersosialisasi karena takut diminta bayar utk baju, make up, dokter kulit.
Hidup ini tentu penuh dengan trade-off: hemat di sini, extravagant di sana. Masing-masing kita tentu memiliki prioritas dan kecintaan masing-masing. St. Barts, kalo kata prof Galloway tadi , trade-off dgn Hyundai.
Gw belum pernah ke sana, hasil googling tempat itu daerah wisata mewah di Karibia . St Barts tentu bisa diganti dengan Bali, Lombok, Toba, Paris, London, New York, ataupun Mekkah dan Jerusalem.
Atau kita perluas, menjadi kursus memasak, melukis dan lain-lain yang menjadi kecintaan kita. Atau seperti dikatakan Ramit Sethi (2019): “Show me a person’s spending, and I can show you what they love.”
Masalah dari penggunaan medsos ini kan kita seolah tau gambaran utuh hidup seseorang, pergumulannya hanya dari twitnya, postingan facebook atau instagram. Dah gitu pake baper, padahal kenal aja kagak. Bukan juga yg membiayai, atau diminta membiayai.
Menurut gw, mengisi SPT tahunan selain kewajiban, juga bagus membuka mata, gimana posisi net wealth lo. Jangan ilusi punya barang merasa kaya, setelah ditulis, diitung besar utang dari aset. Kalo ASN, ngisi LHKPN tuh, keliatan. Ga bisa bragging juga karena jelas buktinya.
Fenomena "financial envy" ini ga bakalan selese. Tiap waktu ada aja, triggernya aja yg beda. Itu cuma puncak gunung es, dari situasi keuangan masing2 netijen. Merefleksikan kegelisahan masing2, regret kenapa dulu ga nabung, kenapa dulu ga inves, kenapa2... Ga selese2.
“Studies show that people overestimate the amount of happiness things will bring them and underestimate the long-term positive effect of experiences. Invest in experiences over things. Drive a Hyundai, and take your wife to St. Barts. - Scott Galloway, “The Algebra of Happiness."
You can follow @tigorsiagian.
Tip: mention @twtextapp on a Twitter thread with the keyword “unroll” to get a link to it.

Latest Threads Unrolled:

By continuing to use the site, you are consenting to the use of cookies as explained in our Cookie Policy to improve your experience.