Chicago adalah kota yang sangat rata. Tapi, di belakang kampusku di University of Chicago ada taman luas yang permukaan tanahnya lebih rendah dari jalan di sekitarnya. Namanya Midway Plaisance. Ini adalah “titik terrendah” di kota dan tempat World’s Columbian Expo 1893 berdiri. https://twitter.com/potretlawas/status/1296424924068773890
Tanah yang lebih rendah itu adalah hasil galian dan pembangunan kanal buatan. Daerah seluas 2.4 km disulap jadi pameran kebudayaan dari 46 negara. Selain kanal dan 14 bangunan pameran, ada juga danau-danau buatan.
Vibe human zoo sangat terasa dalam World’s Columbian Exposition ini. Apalagi karena acaranya memang merupakan selebrasi “dibawanya kebudayaan/civilization ke Dunia Baru” oleh Christopher Columbus. Dalam kata lain, pameran ini adalah selebrasi dari kolonialisme.
Orang-orang dari “Dunia Baru” dipertunjukkan dalam pameran ini — termasuk orang, musik, dan arsitektur Indonesia. Istilah Dunia Baru sendiri muncul dari perspektif Bangsa Barat yang merasa baru “menemukan bagian dunia baru” yang dianggap terbelakang.
Pandangan tentang adanya bagian dunia yang “maju” dan “terbelakang” inilah yang melahirkan kolonialisme dan penjajahan: perasaan superioritas yang disertai keinginan untuk mendominasi orang lain dan mendikte mereka.
Banyak orang yang membenarkan penjajahan karena dianggap telah “memajukan” suatu bangsa. Biasanya narasinya semacam:
“Kalau ga ada Belanda ga mungkin ada kereta api/sekolah/sistem hukum seperti sekarang.”
“Kalau ga ada Belanda ga mungkin ada kereta api/sekolah/sistem hukum seperti sekarang.”
Pandangan seperti itu mencerminkan kurangnya kemampuan untuk membayangkan dunia tanpa penjajahan dan mengasumsikan bahwa tanpa penjajahan suatu bangsa tidak akan bisa “maju.”
“Loh, kan banyak negara di Afrika miskin. Berarti terbelakang, kan. Setelah dijajah kan bagus jadi punya sistem hukum dll.”
Ini menepikan fakta bahwa bukannya berkembang secara mandiri, banyak negara yang jadi miskin karena eksploitasi selama ratusan tahun di bawah penjajahan.
Ini menepikan fakta bahwa bukannya berkembang secara mandiri, banyak negara yang jadi miskin karena eksploitasi selama ratusan tahun di bawah penjajahan.
Selain itu, pembentukan batas negara secara paksa oleh pihak luar seperti di Afrika juga sering menimbulkan konflik antar kelompok masyarakat yang berkontribusi pada gagalnya sebuah negara untuk membentuk sistem pemerintahan dan ekonomi yang efektif.
“Tapi kan sekarang sudah ga ada penjajahan!”
Mungkin penjajahan sekarang ga seperti dulu, tapi masih ada mental kolonialisme dg dikotomi “maju” dan “terbelakang” dalam diskursus pembangunan/development dan akademik modern.
Mungkin penjajahan sekarang ga seperti dulu, tapi masih ada mental kolonialisme dg dikotomi “maju” dan “terbelakang” dalam diskursus pembangunan/development dan akademik modern.
Misalnya, ketika membuat program pengentasan kemiskinan di suatu negara berkembang penduduk lokal dianggap “tidak mampu maju” dan budaya lokal mereka adalah “penyebab kemunduran” mereka.
Kegagalan program pembangunan & pengentasan kemiskinan kerap dituding sebagai hasil dari budaya lokal yang “mundur.” Padahal, seringkali kegagalan program2 tsb berakar dari kurangnya pemahaman atas tatanan sosial politik di masyarakat lokal. Misalnya, hukum adat & kearifan lokal.
Dalam dunia akademik, mental kolonialis ini bisa muncul dalam cara memandang orang, bangsa, atau budaya lain yang hanya berpaku dari perspektif dominan saja (alias perspektif dunia akademis Barat). Hasilnya, perspektif dari akademisi belahan dunia lain sering dianggap inferior.
Padahal, perspektif akademisi atau orang dari belahan dunia lain bukanlah sekedar “sudut pandang alternatif” saja.
Apa lagi buah dari mental kolonialis ini?
Rasisme.
Perasaan superioritas diri dibandingkan bangsa lain dan keinninan untuk mendominasi mereka.
Rasisme.
Perasaan superioritas diri dibandingkan bangsa lain dan keinninan untuk mendominasi mereka.
Nyatanya, meskipun bangunan, kanal, dan gedung dari World’s Columbian Expo 1893 ini sudah tak ada lagi di kota Chicago, mental kolonialis dan rasisme tak lantas hilang.
Chicago merupakan salah satu daerah paling tersegregasi berdasarkan ras di Amerika Serikat.
Chicago merupakan salah satu daerah paling tersegregasi berdasarkan ras di Amerika Serikat.
Kampusku sendiri ada di South Side dari kota Chicago, daerah yang mayoritas penduduknya kulit hitam. University of Chicago menjadi semacam “bubble” kulit putih elit di tengah daerah miskin orang kulit hitam.
Ini adalah foto kampusku yang nampak asri dan megah dengan Midway Plaisance bekas World’s Columbian Fair di kiri bawah.
Beberapa blok dari sini, pemandangannya berubah 180 derajat dengan tingkat kemiskinan dan kriminalitas yg lebih tinggi dibanding area elit seputar kampus.
Beberapa blok dari sini, pemandangannya berubah 180 derajat dengan tingkat kemiskinan dan kriminalitas yg lebih tinggi dibanding area elit seputar kampus.
Intinya, bahkan ketika struktur fisik kolonialisme & rasisme sudah dihancurkan, bukan berarti keduanya lantas hilang.
Keduanya tetap bersemayam dalam pikir dan mempengaruhi cara pandang kita terhadap orang lain yang dianggap inferior atau “kurang.”
Keduanya tetap bersemayam dalam pikir dan mempengaruhi cara pandang kita terhadap orang lain yang dianggap inferior atau “kurang.”