Konsep atheisme menarik untuk ditelusuri dari sudut pandang filsafat. Sederetan filsuf besar pada kenyataannya menolak keberadaan Tuhan, jumlahnya mungkin sepadan dengan filsuf agamawan. Hari ini kita akan membahas:

Atheisme: Penolakan Terhadap Eksistensi Tuhan

- a thread!
Sepanjang sejarah, kita dapat menemukan bahwa banyak manusia mencari keberadaan Tuhan, yang melampaui segala keterbatasan manusia, yang sempurna. Entah itu dewa-dewi Yunani, Tuhan di agama Kristen dan Katolik, dan sederetan konsep Tuhan dalam budaya lain.
Sepanjang sejarah pula, kita dapat menemukan banyak orang yang dihukum karena menolak keberadaan Tuhan, contohnya ialah Socrates yang menolak dewa-dewi Yunani. Berkembangnya waktu, atheisme ini bukan hanya menolak Tuhan, tetapi menolak kepercayaan akan Tuhan yang sama.
Misalnya saja Spinoza, yang dikucilkan dari komunitas Yahudi karena mempunyai konsep Tuhan yang berbeda. Atheisme, dalam arti menolak percaya pada eksistensi Tuhan bisa diartikan berarti keluar dari komunitas agama tertentu. Setidaknya ada 3 filsuf yang akan kita bahas.
1. Karl Marx

Kondisi keterasingan yang dimiliki kaum proletar terhadap kaum borjuis dianggap Marx sebagai kondisi yang membuat mereka lari kepada agama sebagai protes atas ketimpangan sosial-ekonomi. Kenapa?
Kaum proletar tak berdaya terhadap kekuasaan sistem yang dikuasai oleh kelas pemilik modal, maka dari itu mereka menganut agama. Menurut Marx, manusia lari kepada agama karena tidak tahan dengan kenyataan hidup sehari-hari yang pahit dan penuh beban.
Agama dianggap sebagai ruang yang lebih memberikan perlindungan dibanding dengan realitas sosial yang menindas. Marx juga beranggapan bahwa agama merupakan ungkapan penderitaan manusia yang sesungguhnya serta keluhan rakyat yang tertindas.
Hal ini membuat agama hanya menjadi realitas sekunder, apabila sistem ekonomi memberikan kesejahteraan yang merata, maka agama takkan pernah lahir, atau agama akan punah. Bagi Marx, manusia itu pada hakekatnya tak beragama, tapi ketimpangan sosial-ekonomi yang membuat agama ada.
Pendapat Marx ini tentunya mendapat serangan yang bertubi-tubi karena realitas ekonomi dijadikan fondasi bagi seluruh aspek kehidupan: politik, hukum, kebudayaan, dan agama itu sendiri. Reduksi akan realitas ini tentunya sangat berbahaya karena semua hanya dilihat dari ekonomi.
2. Jean-Paul Sartre

Filsuf eksistensialis ini mengatakan bahwa manusia baru bisa memiliki kehidupan bermakna apabila ia memiliki kebebasan. Nah, kebebasan ini sebenarnya bukanlah ciri khas manusia, tapi manusia itu sendiri ialah kebebasan.

"Kita dihukum untuk bertindak bebas"
Kebebasan itu fundamental dan radikal, semua hal yang ada dalam hidup kita dan apapun yang kita lakukan hanya mungkin terjadi dalam kebebasan. Maka dari itu, eksistensi berakar pada kebebasan, eksistensi mendahului esensi.
Menurut Sartre, agar eksistensi manusia dipertahankan dan kehidupannya bermakna, maka Tuhan harus tidak ada. Demi kebebasan manusia, eksistensi Tuhan yang absolut dan mempunyai kekuasaan mutlak itu tidak boleh diterima. Keadaan Tuhan, baginya, mencaplok kebebasan manusia.
Pandangan Sartre tersebut menyiratkan Tuhan sebagai penguasa absolut dan majikan yang kejam, sedangkan manusia sebagai rakyat yang diperbudak dan hamba yang tak berdaya.

"Manusia sama sekali kehulangan kebebasan dan makna hidupnya di hadapan Tuhan."
Hal ini tentunya sangat berbeda pandangan dengan orang beragama tentang relasi Tuhan dan manusia. Dalam agama Kristen, misalnya, relasi ini merupakan relasi cinta dimana manusia dapat bertindak sesuai kebebasan yang dianugerahkan Tuhan karena Ia mengasihi ciptaan-Nya.
Tuhan bahkan tidak menghalangi manusia untuk bertindak, kita dari lahir sampai mati mempunyai kebebasan, misalnya kita saat ini dapat memilih antara keluar rumah bersenang-senang atau diam menunggu pandemi selesai. Ketika berada dalam pilihan hidup/mati, kita pun bebas memilihnya
Kebebasan yang manusia punya tentunya tidak benar-benar bebas seperti apa yang dikatakan Sartre. Kebebasan kita juga bergantung pada kondisi, baik oleh faktisitas atau keterbatasan kodrati maupun oleh lingkungan di sekitar kita.
3. Michael Onfray

Dalam bukunya berjudul Atheist Manifesto, Onfray berpendapat bahwa dalam Kitab Suci 3 agama abrahamik (Yahudi, Kristen, Islam), banyak terdapat kontradiksi. Di satu sisi, paham cinta kasih, kebaikan & keadilan begitu menonjol, tapi sejarah menyatakan sebaliknya
Sejarah agama-agama itu sarat dengan kekerasan yang bertolak belakang dengan eksistensi Tuhan. Onfray berakhir dengan pernyataan bahwa daripada percaya dengan agama-agama yang sarat kekerasan itu, lebih baik manusia menjadi hedonis dan atheis.
Argumentasi Onfray mungkin bisa dikategorikan sebagai atheisme pragmatis, yang berbeda dengan pendapat Marx dan Sartre yang masuk dalam kategori atheisme filosofis.

Ketiganya memiliki suatu kesamaan, yakni mereduksi kompleksitas agama dan kepercayaan kepada Tuhan.
Marx melihat dari kacamata ekonomi, Sartre berbasis pada paham kebebasan yang absolut, dan Onfray melihat Kitab Suci tentunya bukan dengan hermeunetika.

Atheisme sendiri beragam dan bukan hanya sekadar "tidak mempercayai keberadaan Tuhan" secara praktis.
Sumber:

1. Pengantar Filsafat (Johanis Ohoitimur)
2. Pemikiran Karl Marx: Dari Sosialisme Utopis ke Perselisihan Revisionisme (Franz Magnis Suseno)
3. Sejarah Filsafat Kontemporer: Perancis (K. Bertens)

Konten oleh @NathPribady
You can follow @logos_id.
Tip: mention @twtextapp on a Twitter thread with the keyword “unroll” to get a link to it.

Latest Threads Unrolled:

By continuing to use the site, you are consenting to the use of cookies as explained in our Cookie Policy to improve your experience.