Mengapa narasi tentang radikalisme (termasuk khilafah, HRS, klepon, kadrun, dan sebagainya) terus berkembang? Ini pendapat saya di Harian Kontan November lalu. Masih relevan hingga saat ini.
Radikalisme bisa kita letakkan dalam kuadran berikut. Tidak semua radikalisme buruk; bisa jadi justru kita butuhkan. Hanya radikalisme yang diarsir gelap yang ingin kita hindari. Pertanyaannya, apakah sebenarnya definisi "radikal" yang digunakan oleh pemerintah?
Lawan radikalisasi bukanlah deradikalisasi, melainkan inklusi. Untuk mengatasi radikalisme negatif dalam bentuk tindakan diperlukan usaha untuk memastikan agar semua kalangan bisa terinklusi secara ekonomi, politik, maupun sosial. Dan ini bukan pekerjaan mudah.
Bukti empiris menunjukkan bahwa (1) agama bukan faktor utama munculnya radikalisasi, dan (2) di negara-negara yang mampu menciptakan inklusi, ternyata tidak ditemukan radikalisme.
Maka, bila narasi tentang radikalisme terus muncul (atau dimunculkan), bisa dicurigai adanya decoupling yang digunakan untuk mengalihkan isu. Decoupling merupakan gap antara kebijakan yang diharapkan dan praktik yang senyatanya terjadi di lapangan.
Menggunakan analogi pesulap yang menggunakan asap dan cermin untuk menyembunyikan triknya, narasi tentang radikalisme yang terus muncul bisa jadi merupakan upaya menyembunyikan ketidakmampuan pemerintah dalam memastikan pembangunan yang menciptakan inklusi bagi semua kalangan.
You can follow @imanomics.
Tip: mention @twtextapp on a Twitter thread with the keyword “unroll” to get a link to it.

Latest Threads Unrolled:

By continuing to use the site, you are consenting to the use of cookies as explained in our Cookie Policy to improve your experience.